Kontroversi Amnesti dan Abolisi untuk Terpidana Korupsi: Dampak pada Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti dan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menuai polemik. Pembebasan keduanya dari penjara memicu perdebatan tentang dampaknya terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto dibebaskan setelah Presiden Prabowo menandatangani Keputusan Presiden terkait amnesti dan abolisi pada 1 Agustus 2025. Meskipun ada anggapan mengenai kejanggalan dalam proses hukum dan putusan pengadilan terhadap keduanya, para ahli hukum menilai pembebasan ini berpotensi merusak upaya pemberantasan korupsi.

Amnesti dan abolisi sebelumnya belum pernah diberikan kepada terpidana korupsi sejak regulasi tersebut diterbitkan melalui Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954.

Hasto sebelumnya divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap terkait korupsi Harun Masiku, sementara Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus impor gula kristal mentah. Presiden Prabowo kemudian meminta pertimbangan DPR untuk pemberian amnesti dan abolisi terhadap 1.178 narapidana, termasuk Tom dan Hasto.

Pemerintah berdalih bahwa pemberian amnesti dan abolisi bertujuan untuk menjaga stabilitas dan mempererat persaudaraan demi kepentingan bangsa dan negara. Pemerintah juga mengklaim bahwa pembangunan bangsa membutuhkan partisipasi seluruh elemen dan kekuatan politik.

Namun, para pakar hukum berpendapat bahwa tujuan amnesti dan abolisi yang seharusnya terkait dengan rekonsiliasi dan hak asasi manusia telah disimpangkan dari tujuan awalnya.

Menteri Hukum menyatakan bahwa Presiden Prabowo tetap berkomitmen pada penguatan pemberantasan korupsi dan tidak menyebutkan nama-nama tertentu saat menyusun daftar penerima amnesti dan abolisi. Meskipun hanya ada dua terpidana korupsi dalam daftar tersebut, komitmen Presiden terhadap pemberantasan korupsi tetap ditegaskan.

Peneliti ICW berpendapat bahwa terpidana korupsi seharusnya tidak layak menerima amnesti dan abolisi karena dapat memicu implikasi besar pada pemberantasan korupsi. Mekanisme abolisi dan amnesti dapat dimanfaatkan oleh para koruptor untuk menghindari hukuman.

Transparency International Indonesia (TII) juga berpendapat bahwa terpidana korupsi, terutama yang kasusnya masih berada di pengadilan tingkat pertama, tidak sepatutnya menerima pengampunan atau penghapusan penuntutan. Pemberian amnesti dan abolisi dianggap prematur karena kasusnya belum berkekuatan hukum tetap.

Guru Besar Fakultas Hukum UI berpendapat bahwa kasus Tom dan Hasto memiliki kentalnya motivasi politik, dugaan politisasi dapat menjadi alasan pemberian amnesti dan abolisi jika memiliki alasan yang kuat. Alasan dan tujuan pemberian amnesti dan abolisi pada keduanya harus dijawab Presiden Prabowo.

Pakar hukum tata negara dari UGM berpendapat bahwa amnesti dan abolisi memang memiliki nuansa politis, merujuk pada sejarah pemberiannya. Rekonsiliasi menjadi salah satu tujuan pemberian amnesti dan abolisi, namun yang terjadi saat ini tidak sesuai dengan definisi rekonsiliasi.

Pemberian amnesti kepada Hasto dapat berdampak pada terpidana kasus korupsi lain yang perannya juga "ikut serta". Abolisi untuk Tom dapat memutus dugaan keterlibatan sejumlah menteri perdagangan lain terkait persoalan ekspor-impor.

Peneliti ICW menambahkan bahwa amnesti dan abolisi untuk Hasto dan Tom berpotensi melemahkan kepercayaan publik pada lembaga peradilan, selain mencederai prinsip pengawasan antara pemerintah dan badan yudikatif.

Keputusan ini seolah menggambarkan ketidakpercayaan presiden terhadap lembaga peradilan dan dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan publik. Ini bisa jadi preseden buruk dalam proses penegakan hukum atau pemberantasan korupsi di Indonesia.

Secara historis, amnesti dan abolisi di Indonesia telah diberikan sejak era Presiden Soekarno hingga Joko Widodo. Pada masa lalu, pengampunan ini diberikan pada para anggota gerakan yang dituding memberontak, narapidana terkait upaya kemerdekaan Papua, hingga anggota Gerakan Aceh Merdeka.

Pada era reformasi, amnesti dan abolisi berfokus pada pengakuan hak asasi manusia, seperti yang diberikan kepada para aktivis dan anggota Partai Rakyat Demokratik.

Pakar hukum tata negara dari UGM berpendapat bahwa perlu ada aturan yang jelas terkait kriteria pemberian amnesti dan abolisi. Regulasi yang menjadi acuan saat ini tidak memiliki spesifikasi pelaku jenis tindak pidana apa yang berhak menerima amnesti dan abolisi.

Scroll to Top