Gestur Polisi Ungkap Misteri Kematian Diplomat Muda, Ada Apa?

Pakar gestur dan mikro ekspresi, Monica Kumalasari, memberikan sorotan tajam pada gestur yang diperlihatkan oleh pihak kepolisian saat mengumumkan motif di balik kematian Arya Daru Pangayunan, seorang diplomat muda Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI.

Polda Metro Jaya sebelumnya telah mengumumkan hasil penyelidikan mendalam serta pemeriksaan laboratorium forensik terkait kasus kematian Arya Daru Pangayunan. Kesimpulan yang disampaikan adalah tidak ditemukan adanya indikasi tindak pidana, dan Arya Daru Pangayunan dinyatakan meninggal dunia akibat bunuh diri di kamar indekosnya di kawasan Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat.

Monica Kumalasari menyoroti aspek emosional yang diperlihatkan oleh pihak kepolisian saat pengumuman tersebut, yang kemudian menarik perhatian publik.

Dalam sebuah program di tvOne, Monica menyatakan bahwa dirinya memiliki analisis terkait emosi yang muncul pada saat pengumuman tersebut.

Saat ditanya mengenai emosi yang terlihat saat pengungkapan hasil penyelidikan melalui rekaman CCTV, Monica mengaku tidak memiliki cukup bahan untuk dianalisis.

Namun, ia justru menyoroti momen konferensi pers, di mana polisi menyampaikan informasi sesuai dengan redaksi yang telah disiapkan.

Monica mencermati adanya kehati-hatian yang ditunjukkan oleh Dirreskrimum Polda Metro Jaya saat melaporkan bahwa motif kematian Arya Daru adalah bunuh diri.

Ia menemukan adanya helaan napas saat polisi menyampaikan informasi tersebut, dan merasa tertarik karena penyidik tersebut mewakili kepentingan berbagai pihak terkait.

Pakar ekspresi ini mencoba menganalisis ekspresi yang muncul, yang mengarah pada anger expression atau ekspresi marah.

Ekspresi marah ini merupakan cara seseorang untuk menyembunyikan perasaan marah, baik secara verbal maupun non-verbal.

Dalam konteks formal, ekspresi ini menunjukkan penolakan secara sopan dan hati-hati.

Monica menjelaskan bahwa helaan napas saat menyampaikan pernyataan kematian Arya Daru mengarah pada indikasi bahwa kematian tersebut tidak melibatkan pihak lain. Ekspresi yang muncul pada saat itu adalah ekspresi marah.

Selanjutnya, Monica juga menganalisis ekspresi dari Puslabfor Bareskrim Polri saat melaporkan hasil pemeriksaan toksikologi korban.

Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya kandungan obat paracetamol dan chlorpheniramine dalam sampel organ tubuh Arya Daru. Monica juga melihat adanya ekspresi marah saat pernyataan hasil autopsi tersebut disampaikan.

Monica kemudian menjelaskan emosi yang diperlihatkan oleh pihak kepolisian dengan menggunakan kuadran polar area.

Kuadran polar area ini digunakan untuk melihat emosi berdasarkan konteks, apakah sesuatu tersebut bersifat obstruktif atau konstruktif, serta apakah ada high control atau low control.

Menurutnya, jika bersifat konstruktif dan high control, maka bisa jadi itu merupakan gestur politis atau defensif, yang menyembunyikan sesuatu. Namun, dalam kasus ini, ia melihat adanya obstruktif dan low control.

Monica menyebutkan bahwa ada tekanan saat menyampaikan laporan hasil penyelidikan berbasis scientific crime investigation yang berlangsung selama tiga minggu.

Ia menegaskan bahwa menyampaikan hal ini tidaklah mudah, karena low control mengindikasikan penyampaian yang jujur dan mengandung beban emosional yang tinggi.

Sebelumnya, Dirreskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Wira Satya Triputra, menyampaikan kesimpulan mengenai motif kematian korban berdasarkan hasil penyelidikan dan pengumpulan barang bukti.

Wira juga menambahkan bahwa tim penyelidik telah mendapatkan keterangan dari 24 saksi dan melakukan rekonstruksi di tempat kejadian perkara (TKP).

Ia menyimpulkan bahwa dari hasil penyelidikan yang telah dilakukan, tidak ditemukan adanya peristiwa tindak pidana.

Scroll to Top