Ekonomi AS di Bawah Trump: Janji Kemenangan Berubah Jadi Kekhawatiran?

Presiden Donald Trump berulang kali menjanjikan kemakmuran ekonomi bagi Amerika Serikat. Namun, data terkini justru memunculkan tanda tanya besar. Laporan ketenagakerjaan yang mengecewakan, inflasi yang merangkak naik, serta perlambatan pertumbuhan ekonomi menjadi indikasi bahwa kebijakan ekonomi Trump mulai memperlihatkan dampaknya.

Sejak enam bulan terakhir masa jabatannya, Trump telah mengubah lanskap perdagangan, manufaktur, energi, dan perpajakan AS melalui serangkaian tarif impor dan undang-undang baru terkait pajak dan belanja negara. Akan tetapi, janji ledakan ekonomi yang digaungkannya belum juga terealisasi.

Kemampuannya menyalahkan pemerintahan sebelumnya, Joe Biden, pun mulai kehilangan efektivitas. Pasar global kini lebih sensitif terhadap setiap pernyataan dan unggahan Trump di media sosial.

Pada Jumat (1/8/2025), saat laporan pekerjaan nasional menunjukkan hasil yang kurang memuaskan, Trump langsung mengambil tindakan. Alih-alih menanggapi substansi data, ia justru memecat kepala lembaga yang bertanggung jawab atas penerbitan angka ketenagakerjaan bulanan tersebut. Tindakan ini dilakukannya dengan tuduhan manipulasi data tanpa bukti.

Meskipun demikian, sejumlah ahli menilai data terbaru ini bisa jadi merupakan konsekuensi dari perubahan radikal akibat kebijakan Trump, atau bahkan sinyal awal dari potensi guncangan ekonomi yang lebih besar di masa depan.

Gedung Putih mengklaim bahwa kebijakan perdagangan terbarunya, yang diumumkan sebelum pengenaan tarif, merupakan keberhasilan negosiasi Trump. Beberapa negara seperti Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, Filipina, dan Indonesia disebut telah menyetujui kenaikan tarif atas produk mereka oleh AS tanpa memberlakukan tarif balasan. Namun, beban sesungguhnya dari kebijakan tarif ini kemungkinan akan ditanggung oleh konsumen AS melalui kenaikan harga barang.

Kevin Madden, seorang konsultan Partai Republik, menekankan pentingnya mengelola persepsi publik untuk menjaga dukungan terhadap kebijakan ekonomi Trump. Meskipun demikian, tingkat kepuasan publik terus menurun. Sebuah jajak pendapat menunjukkan hanya 38 persen warga dewasa yang menyetujui kinerja ekonomi Trump, turun dari sekitar 50 persen pada akhir masa jabatan pertamanya.

Di sisi lain, Gedung Putih tetap optimistis. Juru bicara Kush Desai menyatakan bahwa Presiden Trump menerapkan kombinasi kebijakan yang serupa dengan masa lalu: deregulasi, perdagangan yang lebih adil, dan pemotongan pajak pro-pertumbuhan, namun dalam skala yang lebih besar.

Tanda-Tanda Perlambatan Semakin Nyata

Sejumlah data ekonomi terbaru memberikan gambaran yang kurang menggembirakan:

  • Sejak tarif diberlakukan pada April, industri manufaktur AS kehilangan 37.000 pekerjaan.
  • Penambahan lapangan kerja melambat drastis dalam tiga bulan terakhir.
  • Inflasi terus meningkat, dengan harga barang dan jasa naik 2,6 persen hingga akhir Juni.
  • Produk Domestik Bruto (PDB) juga melambat, dengan pertumbuhan ekonomi AS kurang dari 1,3 persen dalam paruh pertama tahun ini.

Guy Berger dari Burning Glass Institute menyimpulkan bahwa perekonomian AS sedang lesu, dengan tingkat pengangguran yang stagnan dan penambahan lapangan kerja yang minim.

Risiko Inflasi dan Kebijakan The Fed

Trump kini mengkritik kebijakan Federal Reserve (The Fed) sebagai penyebab masalah ekonomi, dan mendesak penurunan suku bunga. Namun, kekhawatiran akan melambatnya pasar tenaga kerja justru menjadi alasan bagi beberapa pejabat The Fed untuk mendorong pelonggaran moneter. Situasi ini semakin rumit karena penurunan suku bunga yang terlalu cepat dapat memicu inflasi yang tidak terkendali.

Ketidakpastian juga diperparah oleh perubahan kebijakan tarif Trump dalam beberapa bulan terakhir. Beberapa analis menilai ini sebagai sinyal ketidakpastian, bukan sekadar penyesuaian biasa.

Scroll to Top