Polemik royalti musik yang diputar di ruang publik kembali menghangat. Beberapa pengusaha kafe dan restoran kini enggan memutar lagu-lagu Indonesia karena khawatir terjerat tuntutan royalti dari Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Bahkan, beberapa memilih alternatif lagu instrumental atau lagu asing.
Ketua Asosiasi Music Director Indonesia (AMDI), Awan Yudha, menyoroti fenomena ini. Ia menjelaskan bahwa stasiun radio sebenarnya telah memenuhi kewajiban membayar royalti melalui kolektif yang difasilitasi oleh Perkumpulan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI). Artinya, kafe yang memutar siaran radio seharusnya tidak lagi dibebankan royalti untuk lagu yang berasal dari siaran tersebut.
Awan melihat situasi ini sebagai peluang emas untuk menjalin sinergi antara industri musik, media, dan UMKM. Ia menyampaikan wacana kolaborasi antara tempat usaha dan radio, di mana tempat usaha memutar siaran radio. Hal ini akan menjadi angin segar bagi radio yang sedang berupaya meningkatkan kembali popularitasnya.
Awan berharap terwujud kerjasama yang saling menguntungkan. Musisi tetap mendapatkan haknya, pengusaha dapat memutar musik, dan radio memperoleh posisi yang relevan di masyarakat. Ia memahami kekhawatiran pengusaha terkait besaran royalti dan kerumitan administrasi dengan LMK.
Awan menyoroti kasus di Bandung, di mana beberapa kafe memilih lagu instrumental karena takut dituntut royalti. AMDI siap mendukung langkah kolaboratif agar musisi lokal tetap dihargai dan karyanya dapat dinikmati di negeri sendiri.
Awan menekankan pentingnya edukasi dan kolaborasi agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Ia mengingatkan bahwa landasan hukum royalti bagi setiap platform yang menggunakan karya musik sudah jelas.
Dalam waktu dekat, Awan berencana bertemu dengan LMK seperti WAMI untuk mencari solusi terbaik. Tujuannya agar UMKM dan tempat usaha dapat berkembang seiring dengan perkembangan musik Indonesia. Ia menyayangkan jika musisi Indonesia kurang diapresiasi dibandingkan musisi asing.