Ketika kebijakan tarif Donald Trump mengguncang dunia pada April lalu, negara-negara Asia Tenggara merasakan dampaknya paling besar. Ekonomi mereka sangat bergantung pada ekspor, dan tarif tinggi mengancam stabilitas.
Pungutan tarif hingga 49% menghantam berbagai industri, mulai dari elektronik di Thailand dan Vietnam, chip di Malaysia, hingga garmen di Kamboja. Seorang pengusaha Thailand bahkan terkejut melihat pengumuman tarif yang begitu tinggi.
Setelah negosiasi sengit, Thailand berhasil menurunkan tarif dari 36% menjadi 19%, mengikuti jejak negara tetangga. Namun, proses mencapai kesepakatan ini penuh ketegangan dan detailnya masih belum jelas.
ASEAN mengekspor barang senilai triliunan rupiah ke AS setiap tahunnya. Vietnam menjadi negara yang paling terpengaruh, dengan ekspor ke AS mencapai sekitar 30% dari PDB mereka. Vietnam menjadi yang pertama bernegosiasi dan memangkas tarif dari 46% menjadi 20%. Sebagai imbalan, Trump meminta Vietnam tidak mengenakan tarif impor dari AS.
Indonesia dan Filipina menyusul dengan tarif yang berkurang menjadi 19%, meskipun kurang bergantung pada ekspor ke AS.
Thailand menghadapi tantangan unik. Berbeda dengan Vietnam yang bisa membuat keputusan cepat, Thailand harus menghadapi politik dalam negeri dan opini publik. Pemerintah koalisi yang lemah dan terpecah belah membuat negosiasi semakin rumit.
Selain itu, keputusan Thailand memulangkan pencari suaka Uighur ke China membuat marah AS. Pejabat dagang Thailand mengungkapkan bahwa masalah Uighur diungkit selama negosiasi tarif. Kasus gugatan terhadap seorang akademisi AS juga memperkeruh suasana.
Kendala lain adalah permintaan AS untuk akses ke pasar pertanian Thailand yang dilindungi. Industri makanan sangat besar di Thailand, dan tuntutan AS ini berpotensi merugikan petani lokal.
Negosiasi yang alot terjadi antara tim perdagangan dan menteri kabinet usai setiap perundingan di Washington.
Peternak babi di Thailand khawatir dengan penghapusan tarif daging babi AS. Mereka tidak bisa bersaing dengan peternak AS yang memproduksi dalam skala yang lebih besar dengan biaya yang lebih rendah.
Namun, pengusaha di sektor lain sangat membutuhkan kesepakatan. Tarif tinggi akan berdampak buruk bagi perusahaan yang memproduksi komponen untuk berbagai barang ekspor. Ketidakpastian menjadi tantangan terbesar bagi mereka.
Pabrik elektronik juga bisa menerima tarif sekitar 20%. Namun, yang paling mengkhawatirkan adalah masalah transhipment, di mana AS menuduh China menghindari tarif dengan mengalihkan produksi melalui Asia Tenggara.
Thailand dan Vietnam mengalami peningkatan investasi asing setelah tarif diberlakukan terhadap China. Sebagian dari peningkatan itu berasal dari perusahaan China yang memindahkan produksi, sebagian lagi dari produk yang menggunakan lebih banyak komponen buatan China.
Sektor manufaktur Thailand merupakan bagian dari rantai pasokan global yang sangat kompleks yang hampir mustahil untuk ditata ulang demi memenuhi tuntutan presiden AS.
Pemerintahan Trump tidak mengindahkan aturan WTO tentang asal barang. Tidak jelas apa yang akan dianggap sebagai transshipment. Pengusaha khawatir hal ini bisa menjadi masalah yang lebih besar daripada tarif standar.
"Asia Tenggara sangat bergantung pada China," ujar seorang CEO perusahaan elektronik. "China memiliki rantai pasokan terbesar untuk elektronik dan mereka yang termurah."
Saat ini, detail kesepakatan tarif masih sedikit yang terungkap. Bagi pemerintah Thailand, mendapatkan kesepakatan saja sudah melegakan. Mereka akan memikirkan bagaimana agar kesepakatan itu berhasil nanti, sementara detailnya dirampungkan.
Negara-negara maju dan berkembang sama-sama berjuang untuk mengimbangi kebijakan tarif Trump yang fluktuatif. Para pengusaha hanya bisa menunggu dan berharap agar aturan mainnya segera jelas.