Pada 17 Agustus 2025, Indonesia berencana meluncurkan Payment ID, sebuah sistem yang digagas Bank Indonesia sebagai bagian dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025. Sistem ini bertujuan menyatukan seluruh transaksi digital di bawah satu identitas pembayaran yang terhubung dengan NIK, membuka pintu integrasi dengan sistem perpajakan.
Secara teknis, Payment ID dipandang sebagai terobosan. Dijanjikan peningkatan efisiensi, percepatan digitalisasi ekonomi, penguatan kepatuhan pajak, dan kemudahan integrasi kanal pembayaran. Namun, di balik janji manis ini, mengintai potensi masalah serius: pengawasan negara yang berlebihan.
Lebih dari sekadar transformasi digital, Payment ID memunculkan bayangan "surveillance government," negara yang secara sistematis memantau dan menganalisis perilaku ekonomi warganya. Negara seolah mencurigai semua warganya, alih-alih melindungi mereka. Istilah "negara polisi" (Police State) muncul sebagai gambaran, di mana hukum digunakan untuk mengendalikan warga, bukan melindungi hak mereka.
Surveillance Capitalism dan Ekspansi ke Ranah Negara
Konsep "surveillance capitalism" yang diperkenalkan Shoshana Zuboff menggambarkan bagaimana perusahaan teknologi mengeksploitasi data pengguna demi keuntungan. Zuboff mengingatkan, jika praktik ini diadopsi negara, akan muncul kekuasaan yang lebih berbahaya: kekuasaan instrumentarian, yang mengendalikan melalui data tanpa persetujuan subjek.
Payment ID menggabungkan tiga kekuatan sekaligus: identitas kependudukan (NIK), data transaksi digital, dan instrumen perpajakan. Negara tidak lagi hanya pengatur, tetapi pengamat utama kehidupan ekonomi warganya.
Pemerintah yang Memantau Segala Aktivitas
Data yang dikumpulkan Payment ID sangat besar. Laporan Bank Indonesia tahun 2024 menunjukkan lonjakan signifikan dalam transaksi digital, seperti uang elektronik, QRIS, dan e-commerce. Dalam sistem Payment ID, data ini akan terhubung ke NIK, memungkinkan negara melihat pola pengeluaran individu secara detail.
Tanpa batasan yang jelas, sistem ini berpotensi menjadi "panoptikon digital," di mana warga merasa diawasi dan mulai membatasi diri, bahkan tanpa sanksi formal. Pemerintah juga berpotensi "mengincar" pendapatan pajak dari transaksi elektronik.
Risiko Demokrasi dan Keadilan Sosial
Pengawasan total perilaku ekonomi warga menyimpan sejumlah risiko:
- Kehilangan Privasi: Transaksi keuangan adalah ekspresi kebebasan individu. Akses negara terhadap data ini mempersempit ruang otonomi warga.
- Pemetaan dan Diskriminasi: Sistem berbasis identitas tunggal dan algoritma prediktif dapat menyebabkan diskriminasi. Pemerintah dapat membuat kebijakan yang diskriminatif berdasarkan profil risiko ekonomi.
- Chilling Effect: Warga enggan melakukan aktivitas ekonomi tertentu karena merasa diawasi.
- Politisasi Data: Kontrol terhadap Payment ID berarti kendali sosial dan ekonomi tingkat tinggi. Penyalahgunaan kekuasaan menjadi ancaman nyata tanpa pengawasan independen.
Demokrasi dan keadilan sosial terancam oleh potensi penyalahgunaan data ini.
Lemahnya Perlindungan Institusional
Indonesia memiliki UU Perlindungan Data Pribadi (UU No. 27/2022), tetapi implementasinya minim. Otoritas perlindungan data yang independen belum terbentuk. Perlindungan data masih berada di bawah eksekutif, padahal merekalah pengumpul data utama.
Prinsip-prinsip dasar pengelolaan data belum menjadi kebiasaan dalam sistem pemerintahan digital.
Menuju Demokrasi Data
Transformasi digital di sektor publik tidak terhindarkan. Namun, inovasi tidak boleh mengalahkan kemampuan negara dalam membangun prinsip-prinsip demokrasi digital. Payment ID harus didasari:
- Keterbukaan dan Partisipasi Publik: Libatkan akademisi, masyarakat sipil, dan organisasi konsumen dalam desain dan evaluasi sistem.
- Kelembagaan Pengawasan Independen: Bentuk lembaga pengawas data digital yang tidak tunduk pada eksekutif, dengan kewenangan menyelidiki dan memberi sanksi.
- Audit Etis Berkala: Setiap pengembangan fitur harus melalui audit etis dan risiko, dengan laporan publik.
- Literasi Data Warga: Masyarakat harus tahu data apa yang mereka berikan, bagaimana digunakan, dan bagaimana melindunginya.
- Batasan Penggunaan Data: Data tidak boleh digunakan untuk memata-matai warga demi intensifikasi dan ekstensifikasi pajak.
Teknokrasi atau Demokrasi Data?
Payment ID mencerminkan bagaimana negara ingin mengelola kekuasaan di era digital. Apakah melalui transparansi dan partisipasi, atau pengawasan diam-diam yang menyamar sebagai efisiensi?
Tanpa pengawasan independen, akuntabilitas, dan partisipasi warga, Payment ID berpotensi menjadi infrastruktur kontrol sosial terbesar yang pernah dibangun negara. Kita perlu bersikap kritis dan konstruktif agar jalan menuju "surveillance government" tidak menjadi kenyataan tanpa kita sadari.