Diskusi hangat seputar film "Ingatan dari Timor" memantik perdebatan sengit tentang sejarah kelam Indonesia dan dampaknya terhadap hubungan dengan Timor Leste. Tiga mahasiswa dari latar belakang berbeda menjadi ujung tombak diskusi, menggugah kesadaran akan pentingnya meluruskan narasi sejarah dan mengakui kesalahan masa lalu.
Aurelia Papur, seorang mahasiswi hukum, lantang mengkritik kegagalan negara hukum di Indonesia. Ia menyoroti impunitas yang dinikmati aparat militer, yang menurutnya telah melanggar hak asasi manusia secara sistematis. Aurelia mempertanyakan legitimasi prinsip negara hukum Indonesia ketika kekuatan militer bertindak tanpa kendali konstitusional, dan ketika rakyat Timor Timur tidak diberikan hak menentukan nasib sendiri sebelum 1999. Baginya, film "Ingatan dari Timor" adalah senjata melawan lupa kolektif dan upaya penghapusan sejarah.
Cantika Manteiro, seorang Putri Budaya NTT, menyerukan kepada generasi muda untuk tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga berani menggugat narasi sejarah yang dibungkam. Ia melihat adanya kontradiksi antara patriotisme palsu di Indonesia dan ketahanan masyarakat Timor Leste dalam merawat luka masa lalu. Cantika mengajak anak muda untuk bersikap kritis terhadap informasi yang diselewengkan oleh negara, dan memiliki keberanian untuk mengoreksi sejarah yang disembunyikan.
Trisno Arkadeus, seorang mahasiswa teologi, menghubungkan tema film dengan masalah serupa yang masih menghantui Indonesia, seperti konflik Papua, tragedi 1965-1966, pelanggaran HAM di Aceh, dan kriminalisasi aktivis. Ia menekankan bahwa rekonsiliasi tidak mungkin terwujud tanpa pengakuan terhadap kesalahan masa lalu. Trisno mengkritik sikap pemerintah yang kerap mengabaikan tuntutan korban, dan mengingatkan bahwa impunitas hanya akan melahirkan luka baru.
Diskusi ini juga menyoroti kemungkinan adanya konspirasi di balik perpecahan Indonesia dan Timor Leste. Beberapa peserta berpendapat bahwa pemisahan tersebut dipicu oleh kepentingan global terhadap energi dan kekuasaan, dengan menyinggung peran negara lain dalam memberikan dukungan kepada invasi ke Timor Leste.
Aurelia Papur menanggapi pertanyaan tentang pengaruh intervensi politik Indonesia terhadap sistem pemerintahan Timor Leste. Ia menjelaskan bahwa intervensi tersebut, baik langsung maupun tidak langsung, telah membentuk dasar sistem pemerintahan Timor Leste yang menganut model demokrasi parlementer.
Para peserta diskusi sepakat bahwa film "Ingatan dari Timor" menjadi bukti bahwa suara korban dan kebenaran sejarah tidak boleh dikubur oleh narasi kekuasaan. Mereka berharap diskusi semacam ini akan terus berlanjut untuk membangun kesadaran kolektif yang lebih inklusif dan berkeadilan, serta mendorong pemahaman yang lebih dalam tentang sejarah dan HAM. Hubungan Indonesia dan Timor Leste diharapkan dapat dibangun di atas fondasi saling menghormati dan memahami, tanpa dibayangi oleh luka masa lalu.