Awal pandemi Covid-19 di Indonesia menjadi contoh nyata dilema antara hak privasi dan kepentingan umum. Ingatkah ketika kasus pertama diumumkan? Pasien 01 dan 02, seorang ibu dan anak, langsung menjadi sorotan. Informasi detail mereka, termasuk usia, gejala, dan riwayat kontak, beredar luas. Akibatnya, keduanya menerima berbagai komentar negatif dan merasa dihakimi. Padahal, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Pasal 32 huruf (i) seharusnya melindungi kerahasiaan data medis pribadi. Namun, pengecualian berlaku jika menyangkut kepentingan umum.
Contoh lain adalah tes HIV yang dilakukan sebelum operasi. Menurut Permenkes RI No.23 Tahun 2022, tes ini wajib untuk melindungi tenaga medis. Meski hasilnya positif, status HIV seseorang adalah informasi pribadi yang tidak boleh disebarkan tanpa izin. Tujuannya jelas: mencegah stigma, diskriminasi, dan intimidasi.
Baru-baru ini, kejadian di kawasan ruko Grand Boulevard, Bekasi, menjadi perhatian. Ratusan orang rela melakukan pemindaian retina mata demi iming-iming uang. Retina, seperti wajah dan sidik jari, adalah data biometrik unik. Masyarakat perlu waspada. Pengumpulan data biometrik semacam ini menyimpan potensi risiko kejahatan siber yang lebih besar.