Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 mencapai 5,12%, melampaui capaian kuartal I yang hanya 4,87%. Namun, angka ini menuai keraguan dari sejumlah pihak, mempertanyakan validitas data yang dirilis.
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyampaikan ketidakpercayaannya terhadap data BPS, menyoroti beberapa kejanggalan yang dianggap tidak merepresentasikan kondisi ekonomi yang sebenarnya.
Berikut adalah poin-poin yang menjadi sorotan:
- Anomali Pertumbuhan Triwulanan: Pertumbuhan ekonomi kuartal II yang lebih tinggi dari kuartal I, yang biasanya didorong oleh momen Ramadhan dan Lebaran, dianggap tidak lazim. Kuartal I sendiri hanya mencatatkan pertumbuhan 4,87%.
- Ketidaksesuaian Sektor Industri: Pertumbuhan industri pengolahan yang mencapai 5,68% dinilai tidak selaras dengan Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia yang berada di bawah 50 poin selama April-Juni 2025, menandakan kontraksi. Selain itu, peningkatan PHK sebesar 32% (YoY) pada periode Januari-Juni juga mengindikasikan kondisi industri manufaktur yang memburuk.
- Konsumsi Rumah Tangga Dipertanyakan: Pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya 4,96%, dengan kontribusi 50% terhadap PDB, dianggap tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I sebesar 4,87%, mengingat Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) juga mengalami penurunan. Peningkatan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebesar 6,99% juga diragukan seiring dengan PMI Manufaktur yang di bawah batas ekspansi.
Ekonom tersebut menekankan perlunya BPS untuk menyajikan metodologi yang transparan dan akurat dalam pengumpulan dan pengolahan data, tanpa adanya intervensi dari pihak manapun.
Respon Pemerintah
Pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara menepis adanya kejanggalan dalam perhitungan BPS. Pertumbuhan ekonomi dihitung berdasarkan gabungan berbagai komponen seperti belanja rumah tangga, belanja pemerintah, dan investasi.
Menteri Koordinator Perekonomian juga menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi sesuai dengan kondisi riil di lapangan dan membantah adanya manipulasi data.