Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menanggapi perdebatan yang muncul mengenai kewajiban pembayaran royalti bagi pelaku usaha kecil seperti kafe dan restoran. Ia menyayangkan adanya narasi yang berkembang, seolah-olah aturan ini akan mematikan bisnis mereka.
Menurutnya, sebelum menyebarkan opini yang keliru, para pengusaha sebaiknya memahami terlebih dahulu landasan hukum yang berlaku. Pembayaran royalti adalah bentuk apresiasi terhadap hak cipta, yang dilindungi oleh Undang-Undang.
"Muncul anggapan yang sengaja dibentuk, seolah-olah kami ingin menutup kafe. Itu tidak benar, karena mereka belum memahami aturan dan Undang-Undang," ujarnya.
Ia menekankan bahwa menggunakan musik sebagai bagian dari layanan hiburan seharusnya dibarengi dengan kesediaan untuk membayar royalti. Solusi seperti memutar suara alam atau kicauan burung untuk menghindari royalti juga tidak tepat.
"Memutar rekaman suara burung atau suara apa pun tetap dikenakan royalti. Produser rekaman memiliki hak atas fonogram tersebut," tegasnya.
Hal serupa berlaku untuk lagu-lagu internasional. Indonesia memiliki perjanjian kerja sama internasional terkait pembayaran royalti.
"Lagu luar negeri juga wajib dibayar royaltinya. Kita terikat perjanjian internasional dan kita juga membayar ke sana," jelasnya.
Tarif royalti untuk pemanfaatan musik secara komersial di restoran dan kafe diatur dalam Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016. Aturan ini menetapkan besaran Royalti Pencipta dan Royalti Hak Terkait yang wajib dibayarkan per kursi per tahun.