Capung, seringkali dianggap sekadar serangga cantik di sekitar sawah, ternyata menyimpan kisah perjalanan lintas benua yang luar biasa. Capung pengelana (Pantala flavescens), dikenal juga sebagai capung ciwet di beberapa daerah Jawa, adalah pemegang rekor migrasi terjauh di antara serangga.
Melampaui Sabang-Merauke: Jarak Migrasi yang Mencengangkan
Serangga kecil ini menempuh lebih dari 6.400 kilometer dalam satu segmen migrasi lintas benua. Jika seluruh siklus multigenerasinya diperhitungkan, jaraknya bisa mencapai 14.000 hingga 18.000 km! Jarak ini jauh melebihi rute Sabang-Merauke (sekitar 5.200 km) dan sedikit lebih panjang dari penerbangan langsung Jakarta-Tokyo (sekitar 5.800 km). Hebatnya, capung melakukannya tanpa mesin, sebagian besar melintasi lautan lepas.
Menjelajahi Samudra dengan "Jalan Tol Angin"
Perjalanan panjang ini dilakukan secara bertahap oleh beberapa generasi capung. Salah satu segmen paling ekstrem adalah saat melintasi Samudra Hindia. Mereka melayang di udara sejauh 1.000 hingga 2.000 kilometer tanpa henti, memanfaatkan angin muson sebagai "mesin gratis".
Studi isotop menunjukkan capung ini berasal dari India utara, menyeberang ke Afrika Timur, lalu kembali ke Asia Selatan dalam sirkuit migrasi raksasa. Mereka mampu bertahan di udara hingga 230-286 jam (hampir dua belas hari) dengan memanfaatkan kombinasi melayang dan mengepak sayap, dibantu oleh angin Somali Jet. Tanpa angin ini, penerbangan lintas samudra tidak mungkin terjadi.
Menghubungkan Ekosistem Lintas Benua
Migrasi capung pengelana membuktikan keterhubungan ekosistem lintas benua. Siklus hidup mereka terkait erat dengan hujan muson yang menghidupkan sawah di Asia Selatan, padang rumput di Afrika Timur, dan kolam musiman di pulau-pulau tengah samudra. Kedatangan mereka di wilayah baru biasanya bertepatan dengan musim hujan, waktu ideal bagi larva capung untuk berkembang.
Di Indonesia, kemunculan capung ini sering menjadi pertanda akan datangnya musim hujan. Bagi petani di beberapa daerah, ini adalah tanda alami bahwa hujan akan segera turun.
Ancaman Perubahan Iklim dan Lingkungan
Meskipun tangguh, capung pengelana tidak kebal terhadap ancaman. Polusi udara, pestisida pertanian, dan degradasi habitat basah dapat mengurangi populasi lokal. Perubahan pola angin akibat pemanasan global juga berpotensi mengganggu navigasi alami mereka.
Perubahan drastis pada pola hujan global dapat menghilangkan wilayah yang dulunya menjadi tempat berkembang biak. Konservasi serangga ini memerlukan kerja sama lintas wilayah, bahkan lintas benua.
Lebih dari Sekadar Hiasan Alam
Capung pengelana mengajarkan kita bahwa ukuran tidak selalu menentukan kemampuan. Mereka adalah penjelajah sejati yang keberadaannya menyatukan ekosistem dari Asia hingga Afrika.
Di Indonesia, kita perlu melihat capung bukan sekadar hiasan alami di persawahan. Mereka adalah bagian dari jaringan kehidupan yang kompleks dan indikator penting kesehatan lingkungan. Penurunan jumlah mereka atau perubahan pola kemunculannya bisa menjadi tanda adanya masalah dengan iklim dan ekosistem kita.