Fenomena unik terjadi di kalangan pemilik restoran dan kafe di Indonesia. Banyak dari mereka kini lebih memilih memperdengarkan suara-suara alam seperti gemericik air atau kicau burung sebagai latar suara di tempat usaha mereka, alih-alih memutar musik.
Alasannya? Kekhawatiran akan kewajiban membayar royalti jika menggunakan lagu-lagu komersial.
Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), di bawah kepemimpinan Piyu Padi Reborn, menyadari keresahan ini. Mereka pun bergerak cepat mencari solusi yang adil bagi semua pihak.
"Kami baru saja mengadakan Focus Group Discussion (FGD) untuk membahas hal ini. AKSI telah menyampaikan usulan tarif royalti dan bagaimana implementasinya. Tunggu saja pengumuman resminya," ungkap Piyu, beberapa waktu lalu.
Piyu juga menyoroti kekhawatiran berlebihan yang dirasakan para pengusaha resto dan kafe terkait royalti musik. Ia berusaha menenangkan mereka, "Tidak perlu takut, karena semua sudah diatur sejak tahun 2014. Hasil FGD di Bogor akan segera diumumkan."
Sebelumnya, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) juga turut memberikan perhatian terhadap isu ini. Ketua Umum LMKN, Dharma Oratmangun, merasa prihatin dengan kondisi tersebut. Ia bahkan mengingatkan bahwa suara alam pun bisa memiliki hak cipta tersendiri.
Dengan inisiatif dari AKSI dan perhatian dari LMKN, diharapkan solusi yang adil dan transparan dapat segera ditemukan, sehingga para pengusaha resto dan kafe dapat kembali dengan tenang menyajikan musik berkualitas tanpa dibayangi kekhawatiran soal royalti.