Ketegangan di perbatasan Israel-Lebanon kembali memanas. Pemimpin Hizbullah, Sheikh Naim Qassem, melontarkan ancaman keras terkait potensi serangan rudal ke Israel jika agresi militer terus berlanjut.
Dalam pidato yang disiarkan televisi, Qassem menegaskan bahwa setiap agresi besar-besaran akan dibalas dengan kekuatan penuh. "Pertahanan kami akan mengirimkan rudal ke wilayah Israel, menghancurkan keamanan yang mereka bangun selama delapan bulan terakhir hanya dalam satu jam," tegasnya.
Peringatan ini muncul di tengah pembahasan kabinet Lebanon mengenai masa depan persenjataan Hizbullah, yang mendapat tekanan kuat dari Amerika Serikat (AS). AS terus mendesak pelucutan senjata kelompok yang didukung Iran ini, menawarkan penghentian serangan Israel, penarikan pasukan dari wilayah selatan Lebanon, dan bantuan rekonstruksi sebagai imbalan.
Namun, Qassem menolak mentah-mentah tekanan tersebut. Menurutnya, diskusi pelucutan senjata tidak akan dimulai sebelum Israel menghentikan seluruh agresinya. "Selesaikan dulu masalah agresi, baru kita bahas persenjataan," tandasnya. Ia juga meminta agar pemerintah Lebanon tidak membuang waktu untuk menanggapi tekanan eksternal.
Qassem juga mengungkapkan data korban dari konflik sebelumnya, yang sempat mereda setelah gencatan senjata yang ditengahi AS. Ia menyebutkan sekitar 5.000 pejuang Hizbullah tewas dan 13.000 lainnya terluka. Meski demikian, ia menekankan bahwa Hizbullah tetap kuat dan siap berperang jika diperlukan. "Pejuang kami siap berkorban," tegasnya.
Usai pidato tersebut, konvoi pendukung Hizbullah terlihat di Beirut selatan, membawa bendera kelompok. Unjuk kekuatan ini menunjukkan kesiapan Hizbullah di tengah spekulasi konflik bersenjata skala besar bisa kembali pecah sewaktu-waktu.
Negosiasi antara AS dan Lebanon yang dimulai sejak Juni belum menunjukkan hasil signifikan. Kesabaran AS tampaknya mulai menipis, dan tekanan terhadap pejabat Lebanon meningkat untuk segera memberikan komitmen demi kelanjutan perundingan damai.