Pompeii, kota Romawi yang terkubur dahsyat oleh letusan Gunung Vesuvius di tahun 79 Masehi, menyimpan kejutan. Temuan arkeologi terbaru membuka tabir bahwa kota ini tak sepenuhnya ditinggalkan pasca-bencana. Sebagian penduduk, berjuang di tengah reruntuhan, memilih untuk kembali.
Para ahli menduga, mereka yang kembali adalah penyintas dengan keterbatasan sumber daya. Mereka mungkin bergabung dengan pendatang baru, bersama-sama mencari harapan di tengah kota yang hancur. Sebelum tragedi, Pompeii adalah rumah bagi lebih dari 20.000 jiwa. Letusan Vesuvius, meski mengubur kota, justru mengawetkan bangunan dan artefak bersejarah. Penemuan kembali kota ini pada abad ke-16 menjadikannya situs arkeologi terpenting dunia.
Pemukiman Sementara di Tengah Puing
Spekulasi tentang kembalinya penduduk setelah letusan sebenarnya bukan hal baru. Namun, bukti-bukti terbaru yang dikonfirmasi oleh tim arkeolog semakin memperkuat teori ini. Pompeii pasca-79 Masehi bukanlah kota utuh, melainkan pemukiman darurat, sebuah ‘favela’ yang tumbuh di antara sisa-sisa kota masa lalu. Pemukiman informal ini diperkirakan bertahan hingga abad ke-5.
Penduduk hidup tanpa infrastruktur modern, memanfaatkan reruntuhan untuk mencari barang berharga yang tertinggal. Mereka mendiami lantai atas bangunan yang masih berdiri, sementara lantai dasar difungsikan sebagai gudang atau ruang bawah tanah. Selama ini, fokus penelitian terpusat pada kehancuran Pompeii, sehingga jejak kehidupan pasca-bencana seringkali terlewatkan.
Pompeii: Kisah Tentang Bertahan Hidup
Pompeii kini menjadi tujuan wisata populer, menawarkan jendela ke kehidupan masyarakat Romawi kuno. Namun, penemuan terbaru membuka dimensi baru: Pompeii bukan hanya tentang kematian dan kehancuran, tetapi juga tentang ketahanan dan upaya membangun kembali kehidupan dari sisa-sisa sejarah.