Gagasan untuk merakit iPhone sepenuhnya di Amerika Serikat kembali mengemuka, seiring wacana kebijakan tarif impor. Klaim bahwa AS memiliki sumber daya dan tenaga kerja mumpuni untuk memproduksi iPhone di dalam negeri pun santer terdengar. Namun, benarkah semudah itu?
Faktanya, para ahli yang memahami seluk beluk operasi Apple menilai bahwa langkah ini akan sangat mahal dan rumit dari segi logistik. Lebih dari 80% produksi perangkat Apple saat ini berada di China, melalui mitra manufaktur seperti Foxconn. Memindahkan ekosistem produksi raksasa ini ke AS membutuhkan waktu, investasi besar-besaran, serta stabilitas kebijakan yang berkelanjutan.
Salah satu tantangan terbesarnya adalah biaya tenaga kerja. Di China, pekerja Foxconn dilaporkan mendapatkan sekitar Rp 61 ribu per jam saat peluncuran iPhone terbaru. Sementara itu, upah minimum di California mencapai Rp 277 ribu per jam. Perbedaan upah yang signifikan ini diperkirakan dapat mendongkrak harga iPhone secara drastis.
Beberapa analis memprediksi kenaikan harga yang cukup fantastis. iPhone yang dirakit di AS bisa mencapai harga Rp 25 juta, atau bahkan hingga Rp 58,7 juta. Apple juga diperkirakan perlu menginvestasikan puluhan triliun rupiah hanya untuk memindahkan sebagian kecil rantai pasokannya ke AS.
Selain biaya tenaga kerja, Apple juga akan menghadapi tarif impor untuk komponen-komponen utama, seperti layar dari Korea Selatan dan prosesor dari Taiwan. Keterbatasan tenaga kerja terampil di AS juga menjadi hambatan serius. Kurangnya teknisi di AS menjadi kendala signifikan, berbeda dengan China yang memiliki tenaga ahli yang berlimpah.
Sejarah pun mencatat kegagalan upaya serupa. Pabrik Foxconn senilai miliaran dolar di Wisconsin yang diharapkan dapat menciptakan ribuan lapangan kerja, justru tidak memproduksi produk inti Apple. Pabrik tersebut bahkan beralih ke produksi masker selama pandemi.
Ekspansi Apple sebelumnya ke Brasil juga gagal melokalisasi produksi iPhone sepenuhnya. Meskipun pabriknya bernilai miliaran dolar, Apple tetap harus mengimpor sebagian besar komponen dari Asia. Akibatnya, harga iPhone buatan Brasil saat itu hampir dua kali lipat dari iPhone buatan China.
Meskipun produksi iPhone massal di AS sulit terwujud, Apple mungkin akan memproduksi aksesori skala kecil untuk mendapat keringanan tarif. Perusahaan ini juga telah menunjukkan komitmen investasi di AS, termasuk proyek produksi server AI dan komponen semikonduktor.
Namun, memindahkan seluruh rantai pasokan iPhone ke AS dinilai sebagai misi yang hampir mustahil dan akan memakan waktu bertahun-tahun. Strategi Apple tampaknya akan tetap berfokus pada negosiasi dengan pemerintah untuk menjaga harga kompetitif dan menghindari tarif besar-besaran.
Dengan semua tantangan ini, konsumen di AS mungkin harus bersiap membayar jauh lebih mahal untuk iPhone "Made in USA" – jika itu pernah menjadi kenyataan.