Industri Manufaktur Indonesia Melonjak: Antara Data BPS dan Keraguan Pasar

Industri pengolahan atau manufaktur Indonesia menjadi sorotan utama setelah Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan yang signifikan. Pada kuartal II-2025, sektor ini tumbuh sebesar 5,68% secara tahunan (year-on-year/yoy), dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 18,67%. Pertumbuhan ini menandai peningkatan yang pesat dibandingkan kuartal sebelumnya yang tumbuh 4,55%, dan jauh melampaui pertumbuhan kuartal II-2024 yang hanya sebesar 3,95%.

Pertumbuhan industri manufaktur di kuartal II-2025 menjadi yang terkuat sejak kuartal II-2021. Bahkan, jika kita mengecualikan lonjakan pertumbuhan pada kuartal II-2021 yang didorong oleh pemulihan pasca-pandemi Covid-19, pertumbuhan sebesar 5,68% ini merupakan yang tertinggi sejak kuartal IV-2012.

Menurut data BPS, pertumbuhan terbesar terjadi pada industri mesin dan perlengkapan, yang mencatat pertumbuhan sebesar 18,75% (yoy), meskipun kontribusinya terhadap pertumbuhan industri manufaktur hanya 0,28%. Industri makanan dan minuman juga menunjukkan pertumbuhan yang solid, yaitu 6,15% (yoy), sedikit meningkat dari 6,04% pada kuartal sebelumnya. Pertumbuhan industri pengolahan tembakau juga mencatat akselerasi yang signifikan, dari kontraksi -3,77% di kuartal I menjadi ekspansi 4,59% di kuartal II-2025. Namun, industri tekstil dan pakaian jadi justru mengalami perlambatan, dengan pertumbuhan melambat dari 4,64% menjadi 4,35% pada periode yang sama.

Kinerja ekspor besi dan baja yang meningkat pesat, mencapai 12,8% (yoy), menjadi salah satu pendorong utama lonjakan pertumbuhan sektor manufaktur. Produk logam ini kini menyumbang sekitar 10% dari total ekspor nasional, memberikan dorongan langsung terhadap output industri dalam negeri. Selain itu, subsektor makanan dan minuman, terutama produk turunan sawit (CPO), juga tumbuh stabil di level 6,15% (yoy). Subsektor logam dasar juga mencatatkan pertumbuhan tertinggi sebesar 14,91% (yoy), seiring meningkatnya permintaan global dan nilai tambah dari proses hilirisasi.

Namun, di balik capaian yang impresif ini, terdapat catatan penting. Kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDB justru mengalami penurunan, yaitu sebesar 18,67% pada kuartal II-2025, turun dari 19,25% pada kuartal sebelumnya.

Di tengah lonjakan pertumbuhan industri manufaktur, sejumlah ekonom menyuarakan keraguan terhadap keabsahan data tersebut. Mereka menilai bahwa lonjakan pertumbuhan industri manufaktur tidak sejalan dengan kondisi riil yang tercermin dalam data Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur, yang justru menunjukkan tren pelemahan.

PMI manufaktur Indonesia pada Juli 2025 tercatat sebesar 49,2 – berada di bawah ambang batas ekspansi 50,0. Angka tersebut menandakan bahwa aktivitas industri masih dalam fase kontraksi. Ini juga menjadi bulan keempat berturut-turut PMI manufaktur berada di zona negatif, yang mencerminkan pelemahan konsisten dalam aktivitas sektor tersebut.

Direktur Neraca Pengeluaran BPS menegaskan bahwa pertumbuhan industri manufaktur kuartal II-2025 bersumber dari Survei Industri Besar dan Sedang (IBS) Bulanan yang dilakukan langsung oleh BPS. Ia menyebut pertumbuhan ini sejalan dengan kinerja ekspor yang meningkat 10,67% dan berkontribusi 22,28% terhadap PDB. BPS juga mengacu pada Prompt Manufacturing Index (PMI) Bank Indonesia yang berada di zona ekspansi, yakni 50,89 pada kuartal II-2025.

Scroll to Top