Penangkapan lima individu di Bantul, Yogyakarta, atas dugaan terlibat judi online memicu perdebatan di masyarakat. Kelima orang tersebut, dengan inisial RDS (32), EN (31), DA (22), NF (25), dan PA (24), dianggap sebagian pihak justru merugikan bandar judi online (judol) karena mengeksploitasi celah dalam sistem.
Muncul opini bahwa pihak kepolisian seharusnya fokus pada penangkapan bandar, bukan pemain yang memanfaatkan kelemahan sistem judol.
Menurut informasi yang beredar, kelima pelaku adalah pemain. RDS berperan sebagai otak yang menyediakan tautan atau situs judol dan perangkat komputer. Ia kemudian memerintahkan empat orang bawahannya untuk bermain judol dengan memanfaatkan promosi yang ditawarkan situs-situs tersebut.
Keuntungan diperoleh dari komisi promosi setiap pembukaan akun. Aktivitas ini telah berlangsung selama setahun, menghasilkan sekitar Rp 50 juta per bulan yang masuk ke rekening RDS. Sementara itu, keempat karyawannya menerima upah Rp 1,5 juta per minggu.
Respons Polda DIY
Menanggapi polemik yang berkembang, Polda DIY memberikan penjelasan. Kasubdit V/Siber Ditreskrimsus Polda DIY, AKBP Slamet Riyanto, menjelaskan bahwa penindakan dilakukan berdasarkan laporan dari masyarakat.
Setelah dilakukan penyelidikan dan pemeriksaan, kelima orang tersebut ditetapkan sebagai tersangka karena menjalankan praktik judol dengan mengumpulkan dan memanfaatkan situs-situs yang menawarkan promosi bagi pengguna baru.
Kasus ini telah memasuki tahap penyidikan. Polda DIY menegaskan akan menindak tegas dan transparan jika ditemukan bukti keterlibatan bandar atau jaringan yang lebih besar.
"Siapa pun yang terlibat dalam aktivitas judi akan kami tindak. Mulai dari pemain, operator, pemodal, hingga bandar dan pihak-pihak yang mempromosikan. Tidak ada toleransi untuk perjudian dalam bentuk apa pun," tegas Slamet.