Jakarta – Jepang menghadapi tantangan demografis serius dengan penurunan populasi yang mencetak rekor baru. Pada tahun 2024, jumlah warga negara Jepang berkurang lebih dari 900.000 jiwa, menandai penurunan populasi tahunan ke-16 berturut-turut. Data terbaru menunjukkan penurunan sebesar 0,75 persen, menjadikan total populasi warga Jepang 120,65 juta jiwa. Ini adalah penurunan terbesar sejak survei demografi dimulai pada tahun 1963.
Penurunan ini sejalan dengan tingkat kelahiran yang sangat rendah. Jumlah bayi yang lahir di Jepang tahun lalu turun di bawah 700.000 untuk pertama kalinya dalam sejarah pencatatan. Biaya hidup yang tinggi menjadi salah satu faktor yang membuat banyak warga Jepang enggan menikah atau memiliki anak. Fenomena ini, yang sering disebut sebagai "resesi seks", tidak hanya melanda Jepang, tetapi juga beberapa negara Asia Timur lainnya.
Di tengah penurunan populasi warga negara, jumlah warga asing di Jepang justru mengalami lonjakan signifikan. Hingga Januari 2025, tercatat sekitar 3,67 juta warga asing di Jepang, mencakup tiga persen dari total populasi. Angka ini meningkat 10,65 persen atau 355.089 orang dibandingkan tahun sebelumnya. Pulau Hokkaido mencatat peningkatan terbesar dalam jumlah penduduk asing, yaitu sebesar 19,57 persen.
Pemerintah Jepang sedang berupaya mengatasi penurunan angka kelahiran. Namun, di sisi lain, inflasi mendorong munculnya partai oposisi baru dengan agenda "Japanese First". Partai ini mengkritik kebijakan imigrasi dan mengklaim bahwa warga asing mendapatkan lebih banyak tunjangan kesejahteraan daripada warga negara Jepang.
Padahal, warga negara asing memiliki peran penting dalam mengatasi kekurangan tenaga kerja akibat populasi yang menua, terutama di sektor manufaktur, perhotelan, dan ritel. Saat ini, populasi lanjut usia di Jepang (65 tahun ke atas) mencapai 30 persen, sementara kelompok usia produktif (15-64 tahun) hanya 60 persen.