Menteri Keuangan menyoroti isu klasik terkait rendahnya pendapatan guru dan dosen di Indonesia. Hal ini menjadi perhatian serius dalam pengelolaan keuangan negara.
Sri Mulyani menyatakan bahwa anggapan gaji guru dan dosen yang kurang memadai merupakan tantangan nyata bagi keuangan negara. Kondisi ini memicu pertanyaan mendasar mengenai sumber pendanaan profesi mulia ini. Apakah seluruhnya harus bergantung pada anggaran negara, ataukah ada potensi partisipasi dari elemen masyarakat lain?
Pada tahun 2025, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 724,3 triliun, jumlah yang setara dengan 20% dari APBN. Alokasi jumbo ini bertujuan untuk membiayai berbagai program strategis, meliputi:
- Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah bagi 1,1 juta mahasiswa
- Program Indonesia Pintar (PIP) bagi 20,4 juta siswa
- BOS untuk 9,1 juta siswa
- Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) bagi 197 perguruan tinggi negeri
- Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)
- Digitalisasi pembelajaran
- Tunjangan Profesi Guru (TPG) non PNS bagi 477,7 ribu guru
- Sertifikasi 666,9 ribu guru
- Pembangunan dan rehabilitasi 22 ribu sekolah
- Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Secara garis besar, anggaran pendidikan terbagi ke dalam tiga klaster utama. Pertama, anggaran yang menyasar langsung manfaat bagi siswa hingga mahasiswa. Kedua, belanja untuk guru dan dosen, mencakup gaji hingga tunjangan kinerja. Ketiga, anggaran yang dialokasikan untuk peningkatan sarana dan prasarana pendidikan.