Hizbullah Mengecam Upaya Pelucutan Senjata oleh Pemerintah Lebanon

BEIRUT – Hizbullah Lebanon dengan keras menentang keputusan pemerintah untuk melucuti senjata kelompok non-negara, menyebutnya sebagai "kesalahan fatal". Penolakan ini muncul setelah pemerintah Lebanon memberikan wewenang kepada militer untuk menyusun rencana konsolidasi senjata di bawah kendali negara pada akhir tahun ini.

Hizbullah berpendapat bahwa langkah ini akan melemahkan pertahanan Lebanon terhadap agresi Israel-Amerika Serikat dan memberi Israel kesempatan untuk mencapai tujuan mereka di Lebanon, yang gagal mereka capai melalui operasi militer sebelumnya. Mereka menegaskan bahwa keputusan ini akan diabaikan.

Kelompok tersebut juga menuduh bahwa kebijakan pelucutan senjata ini merupakan hasil dari tekanan Utusan AS, Tom Barrack, yang sebelumnya telah mempresentasikan rencana serupa kepada pemerintah Lebanon.

Meskipun demikian, Hizbullah menyatakan kesediaannya untuk berdialog mengenai strategi keamanan nasional, mengakhiri serangan Israel, pembebasan tahanan, dan rekonstruksi wilayah yang terkena dampak perang, asalkan tidak ada agresi. Mereka bersikeras bahwa perjanjian apa pun harus didahului oleh tindakan Israel, dan prioritas pemerintah haruslah pembebasan seluruh wilayah Lebanon dari pendudukan Israel.

Gerakan Amal, yang merupakan sekutu Hizbullah, juga mengkritik keputusan pemerintah tersebut sebagai tindakan yang prematur, mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut. Mereka menilai bahwa pemerintah terlalu terburu-buru memberikan konsesi kepada Israel melalui perjanjian baru.

Gerakan Amal mendesak pemerintah untuk fokus pada pengamanan gencatan senjata dan menghentikan aksi kekerasan Israel yang telah menyebabkan ratusan warga sipil Lebanon menjadi korban.

Kelompok Syiah, di bawah kepemimpinan Ketua Parlemen Nabih Berri, menuduh pemerintah bertindak bertentangan dengan sumpah jabatan presiden dan pernyataan menteri. Mereka menyerukan agar sidang kabinet yang akan datang menjadi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan arah dan memulihkan persatuan Lebanon.

Situasi ini muncul setelah operasi militer Israel di Lebanon yang dimulai pada Oktober 2023 dan meningkat menjadi perang skala penuh pada September 2024, menyebabkan ribuan korban jiwa dan luka-luka. Meskipun gencatan senjata telah disepakati pada bulan November, ketegangan tetap tinggi dengan serangan Israel yang terus berlanjut di Lebanon selatan. Berdasarkan gencatan senjata, Israel seharusnya menarik pasukannya sepenuhnya dari Lebanon selatan pada Januari 2025, tetapi tenggat waktu tersebut diperpanjang karena penolakan Israel untuk mematuhi sepenuhnya perjanjian tersebut.

Scroll to Top