80 Tahun Hiroshima: Opini Publik Amerika Terpecah Soal Tragedi Nuklir

WASHINGTON – Delapan dekade setelah Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima, Jepang, kenangan pahit dan perdebatan etis seputar peristiwa itu terus bergema di masyarakat Amerika. Serangan pada 6 Agustus 1945, yang menewaskan puluhan ribu warga sipil, tetap menjadi topik kontroversial, memicu refleksi mendalam tentang moralitas perang dan peran Amerika Serikat di panggung dunia.

Dulu, pengeboman Hiroshima mendapat dukungan luas di Amerika Serikat. Namun, jajak pendapat terbaru menunjukkan perubahan signifikan dalam opini publik. Masyarakat Amerika kini terpecah menjadi tiga kubu: mereka yang meyakini pengeboman itu оправданным, mereka yang menganggapnya tidak dapat diterima, dan mereka yang masih ragu-ragu.

Eileen Yam, seorang peneliti di Pew Research Center, menyoroti tren penurunan dukungan terhadap pengeboman Hiroshima dari waktu ke waktu. "Semakin lama berlalu, semakin banyak warga Amerika yang tidak setuju dengan tindakan tersebut," ujarnya.

Kecaman terhadap serangan nuklir ini sebenarnya telah muncul sejak awal. Tokoh-tokoh terkemuka seperti Albert Einstein dan mantan Presiden Herbert Hoover mengecamnya sebagai tindakan yang tidak manusiawi. Hoover bahkan menyebutnya sebagai "pembunuhan tanpa pandang bulu terhadap perempuan dan anak-anak."

Para sejarawan pun semakin mempertanyakan justifikasi pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Beberapa berpendapat bahwa faktor-faktor lain, seperti deklarasi perang Uni Soviet terhadap Jepang, lebih berperan dalam memaksa Jepang menyerah. Ada pula spekulasi bahwa pengeboman itu dimaksudkan sebagai демонстрация kekuatan kepada Uni Soviet dalam persiapan Perang Dingin.

Kisah-kisah para korban selamat dan laporan media Jepang juga turut mengubah persepsi publik. Laporan mendalam tentang penderitaan para korban, termasuk efek mengerikan dari penyakit radiasi, memberikan gambaran yang lebih manusiawi tentang dampak pengeboman tersebut.

Namun, warisan pengeboman Hiroshima tetap kontroversial. Pada peringatan 50 tahunnya, rencana pameran di Museum Dirgantara dan Antariksa Nasional dibatalkan akibat kemarahan publik atas penggambaran pengalaman warga sipil Jepang dan perdebatan tentang penggunaan bom atom.

Erik Baker, seorang sejarawan dari Universitas Harvard, berpendapat bahwa perdebatan tentang bom atom mencerminkan pertanyaan yang lebih besar tentang bagaimana Amerika Serikat menggunakan kekuasaannya di dunia. Ia mengatakan bahwa narasi Amerika Serikat tentang perannya dalam mengalahkan kekuatan Poros selama Perang Dunia II sering digunakan untuk membenarkan intervensi Amerika Serikat di seluruh dunia.

Pergeseran budaya juga terlihat dalam cara berbagai kelompok usia memandang intervensi Amerika Serikat di luar negeri. Generasi muda, khususnya, menunjukkan skeptisisme terhadap kebijakan-kebijakan seperti dukungan Amerika Serikat terhadap perang Israel di Gaza.

Kekhawatiran tentang senjata nuklir juga kembali meningkat. Ketegangan geopolitik antarnegara, termasuk perang di Ukraina, telah mendorong Rusia dan Amerika Serikat untuk saling melontarkan ancaman nuklir.

Di tengah kecemasan ini, para aktivis berharap perubahan opini publik akan mendorong para pemimpin dunia untuk menjauh dari ancaman nuklir dan berupaya untuk menghapuskan senjata nuklir. Seth Shelden, seorang aktivis anti-nuklir, menekankan bahwa selama negara-negara bersenjata nuklir memprioritaskan senjata nuklir untuk keamanan mereka sendiri, mereka akan mendorong negara lain untuk melakukan hal yang sama. Ia mengajak semua pihak untuk mempertanyakan apakah pencegahan nuklir akan berhasil selamanya, mengingat potensi konsekuensi mengerikan dari perang nuklir.

Scroll to Top