Isu mengenai lagu kebangsaan Indonesia Raya dikenakan royalti sempat menimbulkan kebingungan. Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) akhirnya memberikan klarifikasi terkait hal tersebut.
LMKN menegaskan bahwa lagu Indonesia Raya karya WR Supratman telah berstatus sebagai public domain. Artinya, tidak ada lagi perlindungan hak cipta secara ekonomi atas lagu tersebut.
Komisioner LMKN menjelaskan bahwa merujuk Undang-Undang Hak Cipta, perlindungan hak cipta berlaku selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Karena sudah menjadi public domain, ahli waris WR Supratman tidak akan menerima hak ekonomi dari penggunaan lagu tersebut.
Meskipun demikian, hak moral atas lagu tetap melekat pada WR Supratman. Artinya, setiap penggunaan lagu Indonesia Raya harus tetap mencantumkan nama WR Supratman sebagai pencipta. Masyarakat luas bebas menggunakan lagu kebangsaan ini tanpa perlu membayar royalti.
Undang-Undang Hak Cipta juga mengatur bahwa penggunaan lagu kebangsaan untuk kepentingan seperti pendidikan, pelatihan, penulisan karya ilmiah, keamanan negara, dan penyelenggaraan pemerintahan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta, asalkan sumbernya dicantumkan.
Namun, seorang ahli hukum juga menjelaskan bahwa penarikan royalti atas lagu kebangsaan sebenarnya memungkinkan, terutama jika lagu tersebut dikomersialkan. Contohnya, jika lagu Indonesia Raya diaransemen menjadi orkestra dan dijual dalam bentuk CD, maka pihak yang mengkomersialkan tersebut wajib mendapatkan izin dari pemerintah dan membayar royalti.
Bagaimana dengan Lagu Lain?
Penghitungan royalti lagu secara umum didasarkan pada kegiatan komersial berbagai jenis usaha. Setiap jenis usaha memiliki tarif royalti yang berbeda, yang telah ditetapkan sejak tahun 2016. Contohnya, sebuah kafe kecil yang memutar musik untuk pelanggannya wajib membayar royalti sesuai dengan tarif yang berlaku untuk jenis usaha restoran dan kafe. Besaran royalti dihitung berdasarkan jumlah kursi yang tersedia di kafe tersebut.