Senyap di Kafe: Ketika Musik Terbungkam oleh Royalti

Dulu, kafe identik dengan kursi nyaman, aroma kopi, dan alunan musik yang menenangkan. Namun, kini, banyak kafe yang kehilangan nyawanya: musik. Keheningan yang hadir bukan karena lupa menyalakan speaker, melainkan karena regulasi hak cipta yang mewajibkan pembayaran royalti untuk setiap pemutaran musik di ruang publik.

Regulasi ini tertuang dalam PP Nomor 56 Tahun 2021, yang mengatur bahwa semua musik, termasuk instrumental dan lagu lokal, dilindungi hak cipta. Bahkan, penggunaan layanan streaming berbayar pun dianggap sebagai penggunaan komersial yang memerlukan izin. Bagi usaha kecil, proses perizinan dan biaya royalti menjadi beban berat.

Fenomena ini, yang disebut sebagai logika kapitalisme bermusik, menilai setiap nada di ruang publik sebagai aset ekonomi. Tujuannya mulia, yaitu melindungi hak pencipta, namun implikasinya membuat ruang sosial turut terkomersialisasi.

Data dari LMKN (2023) menunjukkan penurunan signifikan permohonan lisensi musik untuk kafe setelah penerapan PP 56/2021. Banyak pemilik kafe memilih diam demi menghindari biaya dan urusan administratif.

Beberapa kafe mencari solusi kreatif, seperti memutar lagu ciptaan sendiri atau lagu indie lokal yang sudah mendapat izin langsung dari musisinya. Ini bukan hanya menghemat biaya royalti, tapi juga membantu mempromosikan musisi daerah.

Kasus ini mengingatkan kita pada "selfie monyet" di Sulawesi, yang memicu sengketa kepemilikan karya. Aturan yang diterapkan tanpa fleksibilitas dapat menciptakan situasi yang aneh.

Bayangkan jika lagu kebangsaan "Indonesia Raya" belum menjadi domain publik. Setiap upacara atau peringatan kemerdekaan mungkin saja dihitung sebagai pemutaran komersial. Betapa ironis jika rasa nasionalisme pun harus dibayar.

Bagi sebagian orang, kafe tanpa musik menawarkan ruang refleksi. Namun, bagi banyak pengunjung, keheningan terasa kikuk dan membuat mereka ingin segera pergi. Musik seharusnya memperkaya suasana, bukan menjadi pertimbangan hukum dan finansial.

Regulasi yang baik seharusnya tidak hanya melindungi pencipta, tetapi juga mempertimbangkan pengalaman publik. Diam di kafe mungkin terasa sepi, tetapi juga mengingatkan kita betapa pentingnya musik dalam membentuk suasana.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah kafe tanpa musik masih nyaman, melainkan, "Sudahkah kita siap berdamai dengan suasana sepi, ketika satu-satunya yang terdengar adalah pikiran kita sendiri?"

Scroll to Top