Perseteruan panjang antara Armenia dan Azerbaijan akhirnya menemui titik terang. Kedua negara secara resmi menandatangani perjanjian damai di Gedung Putih, Amerika Serikat, disaksikan langsung oleh Presiden Donald Trump.
Perjanjian bersejarah ini menandai berakhirnya konflik selama puluhan tahun dan membuka lembaran baru bagi kedua negara bekas Uni Soviet tersebut. Baik Perdana Menteri Armenia, Nikol Pashinyan, maupun Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev, sepakat untuk mengakhiri semua pertempuran secara permanen. Mereka juga berkomitmen untuk membuka kembali jalur perdagangan, perjalanan, hubungan diplomatik, serta saling menghormati kedaulatan dan integritas teritorial masing-masing.
Presiden Trump menyambut baik kesepakatan ini dan menyatakan bahwa Armenia dan Azerbaijan telah berkomitmen pada perdamaian abadi. Kesepakatan damai ini juga mendapat dukungan positif dari Iran dan negara-negara Barat.
Sebagai bentuk apresiasi atas peran Trump dalam mediasi ini, Pashinyan dan Aliyev bahkan mengusulkan agar Trump menerima Hadiah Nobel Perdamaian.
Aliyev menyebut penandatanganan ini sebagai momen bersejarah yang akan membangun perdamaian di Kaukasus. Ia juga berterima kasih kepada Trump atas pencabutan pembatasan kerja sama militer AS dengan Azerbaijan.
Pashinyan menambahkan bahwa perjanjian damai ini akan membuka jalan bagi berakhirnya konflik puluhan tahun dan membuka era baru bagi Armenia dan Azerbaijan. Ia juga mengakui peran Trump sebagai "pembawa perdamaian" yang memungkinkan terjadinya terobosan ini.
Salah satu poin penting dalam kesepakatan ini adalah pembentukan koridor transit yang melewati Armenia untuk menghubungkan Azerbaijan dengan eksklavenya, Nakhchivan. Amerika Serikat akan memiliki hak pengembangan untuk koridor tersebut, yang dijuluki "Rute Trump untuk Perdamaian dan Kemakmuran Internasional". Koridor ini diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomi bagi wilayah strategis dan kaya sumber daya tersebut.