Di tengah tantangan kesehatan mental yang terus meningkat di Indonesia, khususnya skizofrenia dengan gejala halusinasi pendengaran, sebuah inovasi sederhana muncul dari dunia keperawatan. Seorang mahasiswa berdedikasi menghadirkan teknik "bercerita" sebagai metode distraksi yang menjanjikan untuk membantu pasien mengelola halusinasi pendengaran. Lebih dari sekadar mengalihkan perhatian, ini adalah tentang memulihkan secercah harapan.
Gangguan jiwa bukan lagi masalah yang terabaikan. Data kesehatan nasional mengungkap peningkatan signifikan kasus gangguan jiwa berat dalam beberapa tahun terakhir. Halusinasi pendengaran, yang seringkali menjadi ciri utama skizofrenia, dapat membawa individu pada kondisi yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Sensasi palsu yang dirasakan begitu nyata menjadi beban berat dalam kehidupan sehari-hari pasien.
Menyadari fenomena ini, seorang mahasiswa keperawatan melihat peluang untuk menghadirkan sentuhan humanis dalam perawatan medis. Aktivitas bercerita, yang sering dianggap sepele, diubah menjadi terapi penuh empati. Tujuannya bukan hanya untuk menjauhkan pasien dari suara-suara yang mengganggu, tetapi juga untuk membangun kembali hubungan pasien dengan realitas.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana teknik distraksi bercerita dapat diterapkan secara langsung pada pasien halusinasi pendengaran, serta mengevaluasi efektivitasnya dalam membantu pasien mengendalikan gejala. Selain itu, penelitian ini juga meneliti dampak intervensi ini terhadap kualitas hidup pasien secara keseluruhan.
Secara rinci, penelitian ini mengkaji setiap tahapan keperawatan, mulai dari pengkajian awal, diagnosis, hingga evaluasi. Penilaian dilakukan menggunakan skala khusus untuk memantau penurunan tingkat keparahan halusinasi dari waktu ke waktu.
Studi ini menggunakan pendekatan studi kasus terhadap dua pasien wanita yang dirawat di rumah sakit jiwa. Keduanya telah mengalami halusinasi pendengaran selama bertahun-tahun dan menjalani pengobatan medis rutin.
Teknik distraksi bercerita diterapkan selama tiga hari berturut-turut, dengan setiap sesi berlangsung 20-30 menit. Pasien diminta membaca cerita atau buku, kemudian mendiskusikannya dengan perawat, disertai percakapan ringan untuk mengalihkan fokus dari suara halusinasi ke interaksi nyata.
Hasil evaluasi menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Skor keparahan halusinasi pasien mengalami penurunan yang signifikan. Pasien yang sebelumnya mendengar suara-suara yang menyuruh untuk bunuh diri atau melarang minum obat, kini mampu membedakan antara suara nyata dan imajinasi. Mereka belajar untuk "menghardik" suara halusinasi, menggantinya dengan percakapan bersama orang lain.
Perubahan positif juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari: pasien mulai lebih rapi, aktif berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan menunjukkan stabilitas emosional. Aktivitas membaca dan bercakap-cakap kini menjadi rutinitas pencegahan untuk menangkal halusinasi.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa teknik distraksi bercerita sangat efektif dalam membantu mengendalikan halusinasi pendengaran. Metode ini terjangkau, tidak invasif, dan dapat dilakukan oleh perawat atau keluarga pasien di rumah.
Lebih dari itu, metode ini membuka ruang dialog antara pasien dan dunia luar. Di balik setiap cerita yang dibacakan, tersembunyi benih-benih kesadaran diri, koneksi sosial, dan mungkin, jalan kembali menuju kehidupan yang lebih baik.
Pendekatan ini sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), khususnya Tujuan 3: Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan, yang menekankan pentingnya kesehatan mental sebagai bagian integral dari kesehatan secara menyeluruh. Inovasi seperti ini mendukung upaya peningkatan layanan kesehatan mental yang terjangkau, inklusif, dan berbasis komunitas. Selain itu, metode bercerita juga memperkuat aspek inklusi sosial, di mana pasien tidak hanya dipandang sebagai penerima perawatan, tetapi sebagai individu yang berhak mendapatkan kesempatan untuk kembali berinteraksi dan berdaya di masyarakat.