Kisah Kokura: Kota yang Lolos dari Maut Bom Atom dan Lahirnya Ungkapan "Keberuntungan Kokura"

Jakarta – Kokura, sebuah nama yang mungkin asing bagi sebagian orang, namun menyimpan cerita dramatis tentang keberuntungan di tengah kengerian Perang Dunia II. Kota ini kini menjadi bagian dari Kitakyushu, sebuah kota metropolitan berpenduduk hampir satu juta jiwa di barat daya Jepang. Meski Kokura secara fisik telah menyatu, namanya tetap terukir dalam ingatan sebagai simbol keberuntungan yang luar biasa.

Pada tahun 1945, Kokura ditunjuk sebagai salah satu target potensial bom atom oleh Amerika Serikat. Sebagai pusat produksi senjata dan lokasi gudang persenjataan penting, Kokura menduduki peringkat kedua setelah Hiroshima dalam daftar prioritas. Tragisnya, Hiroshima menjadi korban pertama bom atom pada 6 Agustus 1945.

Tiga hari kemudian, pada 9 Agustus, pesawat pengebom B-29 dengan nama Bockscar mengangkut "Fat Man," bom plutonium dahsyat, menuju Kokura. Namun, takdir berkata lain. Pagi itu, Kokura diselimuti awan tebal. Visibilitas yang buruk diperburuk oleh asap kebakaran dari pengeboman di kota tetangga, Yawata. Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa pabrik-pabrik di Kokura sengaja membakar batu bara untuk menciptakan tabir asap sebagai perlindungan dari serangan udara.

Pesawat B-29 berputar-putar di atas Kokura sebanyak tiga kali, menunggu visibilitas yang memadai untuk menjatuhkan bom dengan akurat. Namun, sistem pertahanan darat Kokura mendeteksi kehadiran mereka dan mulai melancarkan serangan. Mayor Charles Sweeney, pilot Bockscar, memutuskan untuk mengalihkan target ke Nagasaki karena bahan bakar pesawat semakin menipis. Kokura lolos dari maut bom atom, bukan hanya sekali, melainkan dua kali.

Keberuntungan Kokura melahirkan ungkapan "Keberuntungan Kokura" dalam bahasa Jepang, yang menggambarkan lolos dari nasib buruk. Di sisi lain, Nagasaki tidak seberuntung itu. Bom atom yang dijatuhkan di sana menewaskan sekitar 70.000 orang dan menyebabkan penderitaan radiasi jangka panjang bagi ribuan lainnya.

Sejak Maret 1945, Amerika Serikat gencar menyerang kota-kota di Jepang dengan bom pembakar. Serangan di Tokyo pada 9 Maret merenggut nyawa lebih dari 83.000 orang dan menyebabkan jutaan orang kehilangan tempat tinggal. Namun, Kokura tetap utuh, terlindungi dari serangan bom pembakar maupun bom atom. Alasan di balik ini adalah keinginan militer AS untuk mempelajari dampak bom atom dengan lebih baik di kota yang belum tersentuh.

Nagasaki sebenarnya tidak masuk dalam daftar target awal, tetapi dipilih atas desakan Menteri Perang AS saat itu, Harry Stimson. Ia meyakinkan Presiden Harry Truman bahwa menghancurkan Kyoto, bekas ibu kota Jepang, akan mempersulit rekonsiliasi pasca-perang. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa Stimson memiliki kepentingan pribadi, karena pernah menghabiskan bulan madunya di Kyoto.

Kokura, yang kini menjadi bagian dari Kitakyushu, selamat dari kehancuran fisik, namun tidak dari trauma kolektif. Ketika berita tentang Kokura sebagai target awal bom Nagasaki tersebar, rasa lega bercampur dengan duka dan empati muncul. Kitakyushu membangun Monumen Bom Atom Nagasaki di taman bekas gudang senjata. Monumen ini menjadi pengingat akan nasib tragis Nagasaki dan ancaman yang nyaris menimpa Kokura, dan setiap tahun menjadi tempat peringatan pada tanggal 9 Agustus. Museum Perdamaian Kota Kitakyushu juga dibuka pada tahun 2022.

Kokura dan Nagasaki menjalin hubungan persahabatan yang erat, mengakui nasib mereka yang saling terkait. Kitakyushu sendiri mengalami transformasi yang signifikan. Sebagai kota industri, polusi sempat merajalela, bahkan mencemari Teluk Dokai. Namun, dengan investasi berkelanjutan dalam teknologi terbarukan, Kitakyushu kini dikenal sebagai salah satu kota terhijau di Asia, sebuah kota yang tidak melupakan masa lalu, tetapi terus melangkah menuju masa depan.

Scroll to Top