Ekonomi Indonesia: Pertumbuhan Tinggi tapi Kredit Lesu, Ada Apa?

Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatatkan angka 5,12% yang menggembirakan. Namun, di balik angka tersebut, tersimpan sebuah paradoks yang mencurigakan: pertumbuhan kredit yang justru melemah, hanya 7,6% year-on-year (yoy) pada Juni 2025. Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: mungkinkah ekonomi tumbuh kuat tanpa dukungan kredit yang sehat?

Pertumbuhan ekonomi yang tidak disokong oleh ekspansi kredit yang solid berpotensi menjadi pertumbuhan yang rapuh, ibarat sugar rush yang memberikan energi sesaat namun tidak berkelanjutan. Kita perlu waspada terhadap angka-angka makro yang menjebak, dan fokus pada pertumbuhan inklusif yang merata, bukan sekadar pertumbuhan tinggi yang dinikmati segelintir pihak.

Ada dua kemungkinan yang menjelaskan anomali ini. Pertama, pertumbuhan ekonomi mungkin didorong oleh faktor non-kredit, seperti ekspor yang tinggi, investasi asing langsung (FDI) yang deras, atau konsumsi rumah tangga yang dibiayai oleh sumber lain, misalnya fintech atau pinjaman non-bank. Kedua, validitas data pertumbuhan ekonomi perlu dipertanyakan, terutama jika tidak didukung oleh penyaluran kredit yang sehat ke sektor produktif.

Data menunjukkan kredit korporasi tumbuh 10,6%, sementara kredit perorangan hanya 4,2%. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung dinikmati oleh korporasi besar, sementara UMKM dan rumah tangga tertinggal. Akibatnya, sektor-sektor padat karya seperti pertanian dan UMKM, yang seharusnya menjadi tulang punggung pertumbuhan inklusif, tidak tersentuh oleh kucuran kredit.

Ironisnya, Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan dari 5,75% menjadi 5,25%, namun pertumbuhan kredit tetap saja moderat. Apakah masalahnya terletak pada keengganan bank untuk menyalurkan kredit, atau justru pada minimnya minat pelaku usaha untuk meminjam? Jika permintaan rendah, apakah ini pertanda lesunya dunia usaha atau hilangnya kepercayaan terhadap prospek ekonomi? Fenomena ini mirip dengan liquidity trap, di mana suku bunga rendah tidak efektif mendorong pinjaman karena pesimisme pelaku ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi yang terpusat di Jawa, khususnya kota-kota besar, dan hanya dinikmati oleh segelintir industri besar, bukanlah pertumbuhan sejati, melainkan konsentrasi kekayaan.

Satu-satunya sektor kredit yang menunjukkan tren positif adalah properti, khususnya Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) untuk rumah tapak dan properti mewah. Namun, pertumbuhan kredit properti sering kali menjadi indikator "gelembung aset", bukan ekonomi riil yang sehat. Pertanyaannya, apakah pertumbuhan ekonomi saat ini digerakkan oleh produksi, atau sekadar spekulasi properti dan konsumsi rumah tangga berbasis utang?

Menurunkan suku bunga tanpa reformasi struktural, seperti mempermudah akses kredit UMKM dan mengurangi birokrasi, hanya akan menciptakan ilusi pertumbuhan. Data pertumbuhan ekonomi perlu diverifikasi, dan pemerataan harus menjadi prioritas. Kebijakan kredit harus diarahkan untuk mengurangi kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa, serta antara korporasi dan UMKM.

Singkatnya, kita perlu waspada terhadap pertumbuhan ekonomi yang hanya didorong oleh sugar rush. Indonesia membutuhkan pertumbuhan berkualitas yang mampu menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi tanpa peran kredit akan terus melahirkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di mana-mana, dan sudah saatnya kita meluruskan arah ekonomi saat ini.

Scroll to Top