Isu royalti musik tengah menjadi perbincangan hangat. Setelah kasus antara Agnez Mo dan Ari Bias, kini giliran pemilik jaringan Mie Gacoan di Bali yang tersandung masalah serupa. Diduga melanggar hak cipta karena memutar musik tanpa izin, sang bos akhirnya memilih jalur damai dengan membayar ganti rugi sebesar Rp2 miliar.
Kasus ini memicu kewaspadaan di kalangan pelaku usaha. Tak sedikit yang memilih untuk meniadakan musik di tempat usaha mereka demi menghindari masalah hukum. Namun, di tengah kehebohan ini, suara berbeda justru datang dari pengelola pusat perbelanjaan.
Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menegaskan bahwa mal selama ini justru menjadi pihak yang paling patuh dalam membayar royalti musik. Bahkan, APPBI pernah mendapatkan penghargaan dari Kementerian Hukum dan HAM atas kontribusinya dalam pembayaran royalti.
Musik dianggap sebagai elemen penting dalam menciptakan suasana nyaman bagi pengunjung mal. Namun, hak-hak pencipta lagu juga harus dihormati. Oleh karena itu, pengelola mal siap membayar royalti sebagai bagian dari aturan yang berlaku.
Beberapa waktu lalu, terlihat sejumlah pusat perbelanjaan yang biasanya ramai dengan alunan musik, kini terasa sunyi senyap. Hanya suara riuh pengunjung dan langkah kaki yang terdengar. Fenomena serupa juga terlihat di beberapa restoran, bahkan di pusat perbelanjaan populer di Jakarta Pusat.
Namun, tidak semua pelaku usaha mengikuti tren "hening" ini. Beberapa toko tetap memutar playlist mereka seperti biasa. Misalnya, sebuah merek pakaian olahraga yang tetap memainkan lagu hip hop internasional. Gramedia, yang dikenal dengan musik slow dan menenangkan, juga masih setia dengan ciri khasnya.
Penting untuk diingat bahwa pembayaran royalti bagi usaha komersial adalah kewajiban. Hal ini demi mendukung kemajuan industri musik tanah air.
Kewajiban ini diatur dalam Pasal 3 ayat (2) PP 56/2021 yang mencakup berbagai bentuk layanan publik komersial seperti seminar, konser, bioskop, pameran, pertokoan, televisi, radio, hotel, karaoke, restoran, kafe, bar, kelab malam, dan diskotek.
Besaran royalti bervariasi tergantung jenis usaha. Misalnya, untuk restoran dan kafe, royalti pencipta sebesar Rp60 ribu per kursi per tahun, dan royalti hak terkait juga sebesar Rp60 ribu per kursi per tahun. Pembayaran dilakukan minimal setahun sekali melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Proses pembayaran royalti melibatkan pengisian formulir lisensi, verifikasi data, penerbitan faktur, dan pembayaran sesuai jumlah yang tertera. Setelah pembayaran, LMKN akan menerbitkan faktur asli dan sertifikat lisensi.
Namun, yang terbaru, viral di media sosial mengenai biaya royalti yang dibebankan langsung kepada pengunjung restoran. Seorang netizen mengunggah bukti pembayaran yang mencantumkan biaya royalti musik sebagai biaya tambahan. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan dan perdebatan di kalangan masyarakat.