Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi sorotan setelah dilaporkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) oleh lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios). Laporan ini didasari oleh dugaan ketidaksesuaian antara data pertumbuhan ekonomi yang dipublikasikan BPS dengan kondisi riil di lapangan. Data yang dianggap tidak akurat ini dikhawatirkan akan merugikan masyarakat luas.
Celios berpendapat bahwa data statistik yang keliru dapat memicu konsekuensi serius, termasuk pengurangan alokasi bantuan sosial dan subsidi energi. Lebih jauh lagi, hal ini dapat memberikan tekanan ekonomi tambahan bagi masyarakat kelas menengah. "Kebijakan seharusnya berbasis data yang akurat. Jika datanya bermasalah, kebijakan yang dihasilkan pun akan bermasalah," tegas seorang peneliti senior di Celios.
Pada awal Agustus lalu, BPS mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 mencapai 5,12%, meningkat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 4,87%. Namun, angka ini menimbulkan keraguan di kalangan pakar ekonomi. Salah satu poin yang disoroti adalah periode Januari-Maret 2025 yang mencakup bulan Ramadan dan Idulfitri, di mana biasanya terjadi peningkatan signifikan dalam aktivitas ekonomi.
Para ekonom mendesak BPS untuk memberikan penjelasan mendalam mengenai metodologi dan indikator yang digunakan dalam perhitungan mereka. Hal ini bertujuan untuk menjaga kepercayaan investor, baik dari dalam maupun luar negeri, terhadap perekonomian Indonesia. Sejumlah ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II 2025 seharusnya tidak melebihi 4,8%.
Meskipun demikian, pemerintah tetap menyatakan kepercayaan pada data yang dikeluarkan oleh BPS. Sementara itu, BPS mengklaim bahwa perhitungan yang mereka lakukan telah sesuai dengan standar internasional yang berlaku.
Mengapa Data BPS Dipertanyakan?
Celios mencatat beberapa kejanggalan dalam laporan BPS terkait pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II. Pertama, lembaga riset ini berpendapat bahwa tidak ada faktor signifikan yang mendorong pertumbuhan ekonomi selama periode April-Juni. Secara historis, pertumbuhan ekonomi tertinggi biasanya terjadi pada kuartal yang bertepatan dengan Ramadan dan Idulfitri, didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga akibat tunjangan hari raya.
Kedua, Celios menyoroti ketidakselarasan antara pertumbuhan industri dan Purchasing Managers’ Index (PMI). Meskipun BPS mencatat pertumbuhan industri pengolahan sebesar 5,68% pada kuartal II 2025, PMI manufaktur Indonesia justru terkontraksi di bawah 50 poin. Selain itu, jumlah pemutusan hubungan kerja juga meningkat secara signifikan pada semester I 2025. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan tidak melakukan ekspansi yang signifikan.
Ketiga, Celios mempertanyakan konsistensi antara konsumsi rumah tangga dan kontribusinya terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). BPS mencatat pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 4,97% dan kontribusinya terhadap PDB Indonesia lebih dari 54%. Namun, Celios meragukan data tersebut karena indeks keyakinan konsumen Indonesia justru mengalami penurunan, yang menandakan penurunan daya beli masyarakat.
Alasan Pelaporan BPS ke PBB
Celios telah mengirimkan surat kepada dua badan statistik di bawah PBB, yaitu United Nations Statistics Division (UNSD) dan United Nations Statistical Commission. Mereka meminta kedua badan tersebut untuk mengaudit data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 yang dirilis oleh BPS.
Langkah ini dianggap penting untuk menjaga kredibilitas data BPS yang sering digunakan oleh pelaku bisnis, peneliti, dan masyarakat umum. Celios berharap PBB dapat melakukan investigasi langsung terhadap BPS dan pemerintah terkait hal ini.
Menurut Celios, pelaporan badan statistik ke PBB pernah terjadi di negara lain. Mereka mencontohkan kasus di Malaysia, di mana badan statistik di bawah PBB melakukan audit terkait klaim penurunan angka kemiskinan yang drastis.
Dampak Bagi Masyarakat
Ketidakakuratan data pertumbuhan ekonomi dapat memicu efek domino yang besar bagi masyarakat. Dampak langsung yang mungkin terjadi adalah pemangkasan bantuan sosial dan subsidi energi. Jika pemerintah menggunakan data BPS yang tidak akurat, pertumbuhan ekonomi akan terlihat baik, sehingga program-program sosial dapat dikurangi.
Selain itu, masyarakat kelas menengah juga dapat tertekan karena adanya persepsi bahwa mereka mampu menanggung beban pajak yang lebih besar. Padahal, kondisi yang sebenarnya mungkin tidak demikian.
Pelaku industri lintas sektor, termasuk UMKM, juga berpotensi terdampak oleh anomali data BPS. UMKM dapat kehilangan stimulus ekonomi dari pemerintah karena pertumbuhan ekonomi dianggap membaik. Selain itu, mereka juga dapat mengambil keputusan bisnis yang kurang tepat karena salah membaca kondisi riil di masyarakat.
Dalam jangka panjang, ketidakakuratan data ini dapat memengaruhi kepercayaan investor terhadap iklim investasi di Indonesia. Data BPS menjadi salah satu pertimbangan penting dalam menentukan rating utang negara. Jika data tersebut perlu direvisi, hal ini dapat berdampak negatif pada kepercayaan investor.
Tanggapan Pemerintah dan BPS
Pemerintah menyatakan tetap percaya pada data yang dikeluarkan oleh BPS, meskipun diragukan oleh sejumlah pihak. Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menolak berkomentar mengenai dugaan politisasi data statistik oleh pemerintah. Ia menegaskan bahwa BPS adalah lembaga negara yang memiliki mandat dalam urusan statistik nasional, dan pemerintah percaya pada hasilnya.
Sementara itu, Kepala BPS menyatakan bahwa lembaganya telah menggunakan standar internasional dalam menyusun data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025.
Respon Pengusaha
Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengungkapkan bahwa perbedaan data pertumbuhan ekonomi dapat memengaruhi pengusaha dalam menyusun kebijakan dan strategi bisnis. Ia meminta agar polemik ini segera diselesaikan, terutama karena kondisi pasar saat ini belum sepenuhnya membaik. Data yang valid dan sesuai dengan kondisi riil di lapangan sangat penting dalam menyusun kebijakan yang efektif.
Industri tekstil dalam negeri menjadi salah satu sektor yang paling terpukul dalam beberapa tahun terakhir. Data yang tidak akurat dapat memperburuk kondisi ini dan menghambat upaya pemulihan sektor tersebut.