Kisruh Royalti Musik Mengguncang Industri Hiburan dan Retail Indonesia

Isu royalti musik tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan pelaku usaha, termasuk pengelola pusat perbelanjaan. Kasus yang menimpa pemilik waralaba Mie Gacoan di Bali, yang ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran hak cipta dan diwajibkan membayar royalti sekitar Rp 2 miliar karena memutar musik di gerainya, menjadi pemicunya.

Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) merespon cepat dengan menginstruksikan anggotanya untuk tidak memutar musik sama sekali di gerai mereka. Ketua Umum HIPPINDO, Budiharjo Iduansjah, mengungkapkan bahwa pihaknya telah mencoba bernegosiasi dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) mengenai tarif royalti, namun tawaran harga dari HIPPINDO ditolak.

Kondisi ini mulai terasa di sejumlah pusat perbelanjaan di Jakarta. Suasana yang biasanya riuh dengan musik pop atau jazz ringan, kini hanya diisi dengan suara langkah kaki dan obrolan pengunjung.

Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mengklaim bahwa pengelola mal adalah pihak yang paling taat membayar royalti musik, bahkan pernah mendapatkan penghargaan dari Kementerian Hukum dan HAM atas kontribusi tersebut.

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI turut memberikan pandangannya. Ketua BPKN, Mufti Mubarok, mengakui bahwa royalti adalah hak ekonomi yang sah bagi pencipta lagu, sesuai dengan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Namun, ia menekankan bahwa aturan harus dijalankan secara transparan dan akuntabel, tanpa membebani pelaku usaha, terutama UMKM. BPKN mendorong LMKN untuk membuka informasi tarif dan dasar penetapannya, membuat sistem distribusi digital yang langsung menyalurkan royalti ke musisi tanpa potongan, serta memperluas sosialisasi agar pelaku usaha memahami aturan sejak awal.

Transparansi juga menjadi sorotan para musisi. Ariel NOAH mengungkapkan bahwa laporan royalti yang ia terima dari LMKN dihitung menggunakan Microsoft Excel, yang terasa manual dan membingungkan. Armand Maulana, vokalis GIGI, yang juga Ketua VISI, sependapat dan merasa sulit untuk tidak curiga karena sistem perhitungan tersebut mudah dimanipulasi.

LMKN menjelaskan bahwa keterbatasan teknologi menjadi kendala utama. Komisaris LMKN, Yessi Kurniawan, mengungkapkan bahwa biaya pengembangan teknologi tidak murah, sehingga mereka khawatir jika royalti yang sudah kecil akan semakin berkurang jika dialokasikan untuk teknologi. Komisaris LMKN lainnya, Bernard Nainggolan, berharap pemerintah dapat memberikan dukungan anggaran untuk pengembangan teknologi LMKN, sehingga royalti dapat naik signifikan.

LMKN meyakini bahwa dengan teknologi yang memadai, mereka dapat memaksimalkan pengumpulan dan distribusi royalti.

Scroll to Top