Polemik mengenai hak royalti pemutaran lagu di ruang publik terus bergulir, memicu perhatian dari berbagai pihak. Ketua Komisi XIII DPR, Willy Aditya, menekankan pentingnya mengedepankan nilai-nilai Pancasila dalam menyelesaikan permasalahan ini, menghindari perpecahan dan saling serang.
Menurut Willy, meskipun penghargaan terhadap hak cipta sangat penting, tidak semua aspek kehidupan harus dikomersialisasikan. Masyarakat Indonesia hidup dalam lingkungan sosial yang menjunjung tinggi gotong royong dan musyawarah. Polemik royalti telah menimbulkan dampak sosial dan hukum yang kompleks, bahkan memunculkan kesan saling mencari kesalahan antara pengguna yang belum memahami aturan dan pemilik hak cipta yang terkesan mencari celah keuntungan.
Willy menyoroti bahwa pemutaran lagu berlisensi dalam acara sosial seperti pernikahan, hiburan warga, atau kegiatan olahraga warga seharusnya dipandang sebagai bagian dari kegiatan sosial. Kegiatan semacam ini, yang tidak bersifat komersial, seharusnya tidak diancam dengan kewajiban membayar royalti.
Lebih lanjut, Willy mengingatkan bahwa para pendiri bangsa tidak menginginkan masyarakat saling bersaing secara berlebihan dalam mengomersialkan hak milik pribadi. Karakter bangsa Indonesia adalah hidup bersama dalam keragaman. Ia mencontohkan UU Pokok Agraria tahun 1960 sebagai contoh pengaturan yang baik mengenai fungsi sosial tanah dan fungsi tanah sebagai modal perorangan.
Willy Aditya, yang juga merupakan legislator dari Partai NasDem, mendukung adanya pengaturan yang lebih tegas dan jelas mengenai royalti dalam perubahan UU Hak Cipta yang akan dibahas oleh Komisi X DPR RI. Revisi ini diharapkan dapat mengembalikan falsafah berbangsa yang telah disepakati, yaitu Pancasila.
"Pancasila menginginkan perlindungan hak pribadi dalam hubungan sosial, bukan liberalisasi ‘perang semua melawan semua’ atau ‘eksploitasi manusia oleh manusia’," tegas Willy. Ia meyakini bahwa Komisi X DPR RI akan mempertimbangkan kepentingan bangsa dalam perubahan UU Hak Cipta tersebut.