Fenomena bioluminesensi, kemampuan makhluk hidup menghasilkan cahaya sendiri, selalu memukau. Umumnya, kita mengenal ubur-ubur atau cumi-cumi kecil sebagai contohnya. Namun, penemuan terbaru ini mengubah segalanya: seekor hiu!
Hiu sirip layang (Dalatias licha), bersama dengan hiu lentera perut hitam (Etmopterus lucifer) dan hiu lentera selatan (Etmopterus granulosus), merupakan tiga spesies hiu yang mampu menghasilkan cahaya biru kehijauan lembut berkat sel khusus pada kulit mereka. Hiu-hiu ini ditemukan di zona senja laut, kedalaman antara ratusan hingga seribu meter.
Yang membuat penemuan ini istimewa adalah ukuran hiu sirip layang. Dengan panjang hampir 1,8 meter, ia dinobatkan sebagai vertebrata bioluminesensi terbesar yang pernah diketahui ilmu pengetahuan.
Seorang peneliti bahkan mengaku terharu saat menyaksikan hiu sirip layang memancarkan cahayanya di dalam tangki air laut gelap. Pemandangan itu sungguh luar biasa.
Lantas, mengapa hiu berevolusi menjadi makhluk bercahaya? Para ilmuwan menduga, bioluminesensi ini membantu hiu dalam berburu. Cahaya dapat menerangi kegelapan laut dalam, mempermudah mereka menemukan mangsa. Selain itu, cahaya juga bisa menjadi alat kamuflase saat mendekati buruan. Walau demikian, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk membuktikan teori ini.
Penemuan ini semakin menegaskan betapa pentingnya peran bioluminesensi dalam ekosistem laut dalam. Produksi cahaya di kedalaman laut ternyata jauh lebih umum dan signifikan daripada yang kita kira.
Meskipun demikian, masih ada misteri yang belum terpecahkan. Bagaimana hiu menghasilkan cahaya tanpa bantuan bakteri bioluminesensi atau luciferin? Analisis kulit hiu tidak menemukan jejak kedua unsur tersebut. Diduga, hormon memegang peranan penting dalam proses ini.
Penemuan hiu bercahaya raksasa ini membuka babak baru dalam penelitian bioluminesensi dan kehidupan laut dalam. Masih banyak yang perlu dipelajari tentang makhluk luar biasa ini dan peran cahaya dalam ekosistem laut yang luas dan misterius.