Peneliti dari Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman BRIN mengungkapkan bahwa Papua memegang peranan penting dalam mewujudkan target Indonesia untuk bebas dari malaria pada tahun 2030. Data menunjukkan, mayoritas kasus malaria di Indonesia, sekitar 86-90%, terpusat di wilayah Papua. Pada tahun 2023, tercatat sekitar 400 ribu kasus malaria yang tersebar di berbagai wilayah.
Salah satu tantangan terbesar dalam memberantas malaria adalah penanganan Plasmodium vivax, parasit malaria yang mampu membentuk sel dorman atau hipnozoit di hati. Hipnozoit ini sulit dideteksi dengan metode pemeriksaan mikroskopis atau tes cepat yang tersedia saat ini. Ketiadaan tes akurat untuk mendeteksi hipnozoit laten menjadi kendala tersendiri.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menargetkan eliminasi malaria global pada tahun 2030, dan Indonesia berkomitmen untuk mencapai target tersebut. BRIN bersama mitra penelitiannya sedang menguji berbagai strategi untuk mengatasi masalah ini. Salah satunya adalah pemberian primaquine dosis tinggi dalam waktu singkat untuk membunuh hipnozoit. Selain itu, sedang diuji coba obat baru, tafenoquine, yang memiliki efek serupa namun cukup dengan satu kali dosis.
Dalam hal pencegahan, vaksin malaria juga menjadi fokus utama. WHO telah merekomendasikan penggunaan vaksin di beberapa negara Afrika. Indonesia juga bersiap untuk melakukan uji coba vaksin R21 yang dikembangkan oleh Oxford dan Serum Institute of India pada tahun depan. Uji coba ini bertujuan untuk mengukur efektivitas vaksin terhadap Plasmodium vivax dan Plasmodium falciparum.
Selain itu, kerja sama dengan peneliti di Papua Nugini dilakukan untuk melakukan surveilans molekuler di wilayah perbatasan. Mobilitas penduduk di wilayah perbatasan mempengaruhi penyebaran malaria di kedua negara.
Dengan kombinasi riset, inovasi, dan intervensi lapangan yang tepat, Indonesia optimis dapat mencapai target eliminasi malaria pada tahun 2030.