Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) secara signifikan memicu keresahan di berbagai daerah. Keluhan ini mencuat setelah adanya rencana kenaikan PBB hingga 250% di Pati, yang kemudian dibatalkan akibat penolakan warga. Di Jombang dan Cirebon, kenaikan bahkan mencapai 1000%, menimbulkan gejolak di masyarakat. Fenomena serupa juga dilaporkan di banyak daerah lain dengan persentase yang bervariasi.
Mengapa PBB Naik Drastis?
Para ahli ekonomi menilai kenaikan PBB ini sebagai sinyal kesulitan fiskal yang dialami pemerintah daerah. Salah satu pemicunya adalah kurangnya transfer dana dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah merasa kesulitan untuk menggali sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang baru.
Draft RAPBN 2026 yang direncanakan mengurangi proporsi transfer daerah dari 3,77% PDB menjadi hanya 2,78-2,89% diperkirakan akan memperburuk situasi ini. Akibatnya, daerah akan semakin tertekan dan mencari jalan pintas, seperti menaikkan PBB secara besar-besaran.
Kepala daerah dinilai mencari cara instan untuk mengatasi kas daerah yang menipis. Pemotongan anggaran transfer ke daerah dan penurunan PAD akibat melemahnya daya beli memaksa mereka untuk mengambil langkah cepat, dan kenaikan PBB dianggap sebagai solusi termudah.
Dampak Kenaikan PBB
Kenaikan PBB yang tidak terkendali dapat menurunkan daya beli masyarakat. Uang yang seharusnya digunakan untuk konsumsi, tabungan, atau investasi terpakai untuk membayar pajak yang lebih tinggi. Hal ini berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) di tingkat UMKM dan meningkatkan risiko kredit macet.
Solusi Alternatif
Pemerintah daerah seharusnya berfokus pada penutupan kebocoran pajak dan retribusi daerah, termasuk yang berasal dari parkir liar. Optimalisasi pajak daerah dari sumber daya alam (SDA) dan pemanfaatan dana bagi hasil (DBH) SDA untuk diversifikasi ekonomi juga menjadi solusi yang lebih berkelanjutan. Pajak tinggi juga harus dikenakan pada industri yang berisiko merusak lingkungan.