Menteri Keuangan Israel Umumkan Rencana Kontroversial, Kubur Mimpi Negara Palestina?

TEL AVIV – Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, mengumumkan rencana pembangunan 3.401 rumah di Tepi Barat yang diduduki, sebuah proyek permukiman yang sangat kontroversial. Smotrich dengan tegas menyatakan bahwa langkah ini akan menggagalkan harapan rakyat Palestina untuk memiliki negara berdaulat.

Proyek E1, yang terletak strategis antara Yerusalem dan permukiman Maale Adumim, telah lama menjadi sumber perdebatan dan dibekukan selama puluhan tahun akibat kecaman internasional. Pembangunannya akan secara efektif memisahkan Tepi Barat dari Yerusalem Timur, sebuah langkah yang sangat ditentang oleh banyak pihak.

"Ini akan memupus gagasan Negara Palestina karena tidak ada lagi wilayah yang perlu diakui," ujar Smotrich.

Permukiman Israel di wilayah Palestina dianggap ilegal menurut hukum internasional dan menjadi salah satu penghalang utama bagi perdamaian antara Israel dan Palestina. Saat ini, sekitar 700.000 pemukim Israel tinggal di sekitar 160 permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Tanah inilah yang menjadi inti perjuangan rakyat Palestina untuk mendirikan negara merdeka.

Smotrich dengan bangga menyatakan, "Setelah puluhan tahun tekanan dan pembekuan internasional, kami akhirnya menentang konvensi dan menghubungkan Maale Adumim dengan Yerusalem. Inilah Zionisme sejati—membangun, menetap, dan memperkuat kedaulatan kami di Tanah Israel."

Pengumuman ini muncul di tengah meningkatnya dukungan internasional untuk mengakui Negara Palestina dalam Sidang Majelis Umum PBB mendatang, yang dikecam keras oleh Israel. Smotrich, bersama dengan Israel Ganz dan Guy Yifrach, bahkan mengklaim bahwa tanah tersebut telah diberikan kepada orang Yahudi oleh Tuhan.

Ketika ditanya tentang pesan yang ingin disampaikan kepada negara-negara seperti Inggris dan Prancis yang berencana mengakui Negara Palestina, Smotrich menjawab dengan tegas, "Itu tidak akan terjadi. Tidak akan ada negara yang akan diakui."

Menanggapi langkah ini, Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa Tepi Barat yang stabil penting untuk keamanan Israel dan sejalan dengan tujuan perdamaian di kawasan tersebut. Namun, PBB dan Uni Eropa mendesak Israel untuk menghentikan rencana tersebut.

Uni Eropa menegaskan bahwa mereka menolak setiap perubahan wilayah yang tidak disepakati oleh kedua belah pihak, sementara Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, menyebut rencana permukiman E1 sebagai pelanggaran berat terhadap hukum internasional yang akan membagi Negara Palestina di masa depan.

Jerman juga dengan keras menolak rencana tersebut dan mendesak Israel untuk menghentikan pembangunan permukiman di Tepi Barat yang diduduki. Kementerian Luar Negeri Turki juga mengecam keputusan itu, menyebutnya sebagai tindakan yang mengabaikan hukum internasional dan menargetkan integritas teritorial Negara Palestina.

LSM Israel, Peace Now, menuduh pemerintah Netanyahu memanfaatkan setiap kesempatan untuk memperdalam aneksasi Tepi Barat dan menghalangi solusi dua negara. Mereka berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk mengakhiri konflik dan mengalahkan Hamas adalah melalui pembentukan Negara Palestina berdampingan dengan Israel.

Kementerian Luar Negeri Palestina mengecam rencana permukiman baru tersebut sebagai kelanjutan dari kejahatan genosida, penggusuran, dan aneksasi.

Pembangunan 3.401 unit rumah di kawasan E1 telah terhenti selama 20 tahun. Kawasan ini dianggap sebagai penghalang efektif bagi berdirinya negara Palestina karena lokasinya yang strategis, yang memisahkan wilayah selatan Yerusalem dari wilayah utara, sehingga mencegah terbentuknya kawasan perkotaan Palestina yang berdekatan, yang menghubungkan Ramallah, Yerusalem Timur, dan Betlehem.

Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, tekanan Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat telah meningkat tajam, yang dibenarkan sebagai langkah-langkah keamanan yang sah.

Sebagian besar masyarakat internasional menganggap permukiman tersebut ilegal menurut hukum internasional, sebuah posisi yang didukung oleh pendapat konsultatif Mahkamah Internasional (ICJ) tahun lalu.

Scroll to Top