Jakarta – Data terbaru Bank Indonesia (BI) per Juni 2025 menunjukkan dinamika menarik dalam komposisi utang luar negeri (ULN) Indonesia. Secara keseluruhan, ULN Indonesia mengalami penurunan tipis, namun tren pinjaman dari Amerika Serikat (AS) dan China menunjukkan arah yang berlawanan.
Pada Juni 2025, total ULN Indonesia tercatat sebesar US$433,4 miliar, atau sekitar Rp7.014,57 triliun (kurs Rp16.185). Angka ini sedikit menurun dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai US$436,1 miliar.
Sementara itu, pinjaman dari negara lain tercatat sebesar US$206,5 miliar, meningkat dibandingkan posisi Mei 2025 sebesar US$208 miliar.
Yang menarik, dari dua kekuatan ekonomi dunia, AS dan China, kontribusi utang masing-masing tercatat sebesar US$26,45 miliar dan US$23,4 miliar. Utang dari AS menunjukkan tren penurunan sebesar 0,49% dibandingkan Mei 2025. Sebelumnya, pada Mei 2025, utang dari AS juga telah menurun signifikan sebesar 3,84%.
Sebaliknya, utang dari China justru mengalami kenaikan sebesar 0,56%, dari US$23,4 miliar pada Mei 2025 menjadi US$23,53 miliar pada Juni 2025. Kenaikan ini mengindikasikan agresivitas China dalam memberikan pinjaman kepada Indonesia.
Pergeseran Peta Pemberi Utang Terbesar
Data BI dari tahun 2010 hingga Juni 2025 mengungkap pergeseran signifikan dalam daftar negara pemberi utang terbesar ke Indonesia. Pada tahun 2010, Jepang menduduki posisi puncak dengan nilai pinjaman mencapai US$40,47 miliar. Namun, seiring waktu, nilai pinjaman dari Jepang terus menurun, dan kini Jepang berada di urutan keempat.
Negara lain yang juga mengurangi pinjamannya ke Indonesia adalah Belanda. Pada tahun 2010, pinjaman dari Belanda mencapai US$15,37 miliar, namun kini hanya sebesar US$4,19 miliar.
Singapura menduduki posisi teratas sebagai pemberi utang terbesar sejak tahun 2012, dengan nilai yang terus meningkat hingga mencapai US$56,8 miliar per Juni 2025.
China juga terus meningkatkan pinjamannya ke Indonesia. Dari hanya US$2,49 miliar pada tahun 2010, pinjaman dari China melonjak menjadi US$21,05 miliar pada Juni 2025. Lompatan ini membawa China dari posisi ke-8 menjadi posisi ke-3 dalam daftar pemberi utang terbesar.
Pinjaman dari AS juga mengalami peningkatan signifikan, dari US$5,59 miliar pada tahun 2020 menjadi US$26,45 miliar pada Juni 2025. Hal ini mengangkat posisi AS dari peringkat ke-4 menjadi peringkat ke-2.
Pinjaman dari AS dan China memiliki latar belakang kepentingan strategis dan ekonomi. Dana dari kedua negara ini digunakan untuk membiayai berbagai proyek pembangunan nasional. China sering terlibat dalam pembiayaan infrastruktur besar, seperti jalan tol, pelabuhan, smelter, dan proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Di sisi lain, AS lebih banyak menyalurkan dukungan melalui investasi langsung maupun bantuan keuangan di sektor-sektor strategis seperti teknologi dan energi.
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, termasuk batu bara, minyak kelapa sawit, dan nikel. Dengan memberikan pembiayaan ke Indonesia, AS dan China berupaya untuk mempertahankan akses terhadap sumber daya tersebut, sekaligus mempererat hubungan bilateral dengan Indonesia.