Serangkaian peristiwa yang melibatkan aktivis pers mahasiswa di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang, memicu perdebatan tentang kebebasan akademik dan peran militer di lingkungan kampus. Para aktivis mengaku menerima "teror" setelah memberitakan kehadiran anggota TNI dalam sebuah diskusi kampus.
Ancaman dan Permintaan Pencabutan Berita
Beberapa aktivis pers mahasiswa UIN Walisongo menyatakan dihubungi berulang kali melalui telepon dan pesan oleh seorang anggota TNI. Oknum tersebut meminta agar pemberitaan tentang kehadirannya dalam diskusi di kampus "dicabut". Tak hanya itu, anggota TNI itu juga mengancam dengan gugatan, merujuk pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Wati, mantan anggota lembaga pers mahasiswa Justisia, menerima pesan dan panggilan melalui WhatsApp dari seseorang yang mengaku sebagai anggota TNI. Menurutnya, anggota TNI itu mempertanyakan pemberitaan Justisia tentang diskusi mengenai militerisme di kampus. Kejadian ini menjadi sorotan setelah viral di media sosial.
Tanggapan Kodam IV Diponegoro
Kodam IV Diponegoro membantah memerintahkan anggotanya melakukan tindakan intimidasi terhadap pers mahasiswa. Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) IV Diponegoro, Letkol Inf Andy Soelistyo, menegaskan tidak ada instruksi untuk "take down" berita terkait.
Namun, kejadian serupa juga dialami oleh dua aktivis pers kampus UIN Semarang lainnya. Mereka mengaku menerima pesan senada, meminta pencabutan berita dan mengidentifikasi penelepon sebagai personel TNI bernama Rokiman.
Kehadiran TNI di Kampus dan Diskusi Militerisme
Masalah ini bermula dari kehadiran seorang anggota TNI saat diskusi Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) tentang militerisme di dunia akademik. Awalnya, seorang pria mencurigakan hadir dalam diskusi tersebut. Setelah ditanya, pria itu meninggalkan acara. Kemudian, seorang personel TNI berseragam hadir di luar kampus, yang kemudian diketahui sebagai Sersan Satu Rokiman. Para peserta merasa terintimidasi dengan kehadiran aparat tersebut.
Kapendam IV Diponegoro menjelaskan bahwa kehadiran personel Babinsa (Bintara Pembina Desa) di kampus UIN Semarang merupakan kegiatan pengawasan rutin, bukan bentuk intervensi.
Isu UU TNI dan Perluasan Peran Militer
Isu ini mencuat seiring dengan sorotan terhadap pengesahan Undang-Undang TNI, yang dinilai akan memperluas kehadiran aparat militer, termasuk di jabatan sipil. Gelombang protes terhadap beleid tersebut terjadi di berbagai daerah, dengan mahasiswa sebagai salah satu motor penggerak.
Kejadian Serupa di Universitas Indonesia
Kehadiran aparat dalam kegiatan mahasiswa juga terjadi di Universitas Indonesia, Depok. Akademisi Herlambang Wiratraman menilai fenomena ini menunjukkan bahwa intervensi negara, termasuk militer, dalam kegiatan kampus belum sepenuhnya terputus sejak Orde Baru.
Kronologi ‘Teror’ di UIN Walisongo
Wati menceritakan bagaimana ia menerima pesan singkat dari seseorang tak dikenal yang langsung menanyakan posisinya. Setelah beberapa kali panggilan tak terjawab, Wati akhirnya mengangkat telepon. Penelepon langsung menanyakan tentang kejadian "kemarin", merujuk pada pemberitaan pers kampus Justisia tentang kehadiran aparat TNI saat diskusi militerisme.
Penelepon, yang mengaku dari Koramil, mendesak Wati untuk menyebut identitas ketua dan redaktur Justisia. Ia mempermasalahkan berita yang diunggah dan foto anggota TNI yang tidak di-blur. Penelepon juga mengancam dengan UU ITE.
Alfarizy, awak media kampus Amanat, juga dihubungi oleh seseorang yang mengaku sebagai anggota Babinsa dan meminta untuk "take down" berita. Zaenal, awak kampus Reference, juga mengaku dihubungi berkali-kali oleh orang tak dikenal, membuatnya resah.
Identifikasi Penelepon dan Klarifikasi TNI
Ketiga lembaga pers kampus saling bertukar informasi dan menemukan bahwa nomor penelepon mengarah pada nama Rokiman. Rokiman merupakan anggota militer yang hadir saat diskusi. Kapendam IV Diponegoro membantah adanya upaya untuk meminta pers kampus mencabut pemberitaan.
Reaksi Kampus dan Kritik Terhadap Intervensi
Wakil Rektor UIN Walisongo, Mukhsin Jamil, menyatakan "kaget" dengan kehadiran aparat TNI saat diskusi mahasiswa. Ia meminta TNI konsisten tidak melakukan intervensi.
Herlambang Wiratraman mengkritik upaya intervensi militer dalam kegiatan mahasiswa di kampus. Ia menyebut upaya kontrol terhadap kebebasan akademik telah terjadi sejak era Orde Baru dan terus berlanjut hingga kini. Herlambang menekankan bahwa kampus "tak boleh diintervensi kepentingan kekuasaan yang tidak berelasi dengan soal akademik."
Harapan untuk Kebebasan Akademik
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya menjaga kebebasan akademik di lingkungan kampus. Manajemen perguruan tinggi diharapkan memahami prinsip kebebasan akademik, yang mencakup kebebasan setiap individu untuk memberikan gagasan secara kritis, berpendapat, berpikir, berkumpul, berserikat, serta menguji hak-hak mereka berkaitan dengan perkembangan ilmiah atau perkembangan pemikiran.