Terobosan menjanjikan dalam pengeditan genom pada tikus membuka jalan bagi penerapan terapi serupa pada otak manusia, menawarkan harapan baru bagi pengobatan gangguan otak yang mematikan. Dengan memanfaatkan teknologi CRISPR-Cas9, para ilmuwan memprediksi uji coba klinis pada manusia akan segera terwujud dalam beberapa tahun mendatang.
Para peneliti telah berhasil mengembangkan terapi pengeditan gen untuk penyakit darah, hati, dan mata. Keberhasilan terapi gen yang dipesan khusus untuk mengobati bayi laki-laki dengan penyakit hati yang mematikan, menjadi bukti nyata potensi teknologi ini.
Meski demikian, penerapan pada otak menghadirkan tantangan signifikan. Otak memiliki penghalang pertahanan yang ketat, sehingga peneliti fokus mengembangkan partikel yang efektif menargetkan otak. Kisah sukses terapi gen pada penyakit hati memicu harapan sekaligus frustrasi di kalangan keluarga pasien penyakit neurologis.
Studi pada tikus menunjukkan bahwa teknologi pengeditan gen berpotensi memperbaiki mutasi penyebab penyakit seperti alternating hemiplegia of childhood (AHC), kelainan langka yang menyebabkan kejang, kelumpuhan, dan gangguan belajar. Peneliti berhasil memperbaiki mutasi pada korteks otak tikus, meningkatkan kognisi, kontrol motorik, dan memperpanjang rentang hidup.
Di Tiongkok, peneliti menggunakan pengeditan basa untuk mengoreksi mutasi pada gen MEF2C4, yang pada manusia menyebabkan epilepsi, disabilitas intelektual, dan keterbatasan verbal.
Perjalanan dari hasil penelitian pada tikus menuju uji klinis pada manusia membutuhkan waktu dan sumber daya. Para ilmuwan berharap dapat memulai uji coba terapi pengeditan gen pada manusia dalam lima tahun ke depan, baik untuk sindrom Rett maupun AHC.
Pengembangan metode pengantaran molekul ke sel-sel otak tanpa virus menjadi fokus utama. Namun, tantangan terbesar saat ini bukanlah teknologi, melainkan masalah finansial. Industri bioteknologi menghadapi kemerosotan, dengan investor menarik diri dari terapi gen dan pengeditan gen yang mahal.