Ambisi Pembangunan: Prabowo Akan Tarik Utang Rp 781,87 Triliun di Tahun 2026

Pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto berencana mengambil pinjaman baru sebesar Rp 781,87 triliun pada tahun 2026. Langkah ini dipastikan akan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, dengan fokus utama pada pembiayaan yang inovatif dan berkelanjutan.

Menurut dokumen Nota Keuangan RAPBN 2026, pendanaan utang ini akan diperoleh melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan penarikan pinjaman. APBN dirancang untuk menyeimbangkan antara merespons gejolak ekonomi dan mendukung agenda pembangunan nasional. Pemerintah meyakinkan bahwa APBN akan mampu mendanai program-program prioritas di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Strategi pengelolaan utang tahun 2026 dirancang untuk mendukung agenda tersebut. Kebijakan anggaran yang ekspansif dipandang sebagai upaya meningkatkan kapasitas fiskal, sehingga APBN dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan pencapaian tujuan pembangunan.

Dalam lima tahun terakhir, pembiayaan utang mencatat angka Rp 870,5 triliun pada 2021, Rp 696 triliun pada 2022, Rp 404 triliun pada 2023, Rp 558,1 triliun pada 2024, dan outlook Rp 715,5 triliun pada 2025. Dengan rencana Rp 781,9 triliun pada 2026, angka ini menjadi yang tertinggi sejak tahun 2021, masa pandemi COVID-19 yang membutuhkan pendanaan besar. Pemerintah menegaskan pengelolaan utang akan dilakukan secara prudent, akuntabel, dan terkendali demi menjaga keberlanjutan fiskal.

Pemerintah berpegang pada tiga prinsip utama dalam pengelolaan utang. Pertama, akseleratif, yaitu memanfaatkan utang sebagai katalis percepatan pembangunan dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Kedua, efisien, dengan menekan biaya penerbitan utang seminimal mungkin melalui pengembangan pasar keuangan dan diversifikasi instrumen utang. Ketiga, seimbang, dengan menjaga portofolio utang yang optimal antara biaya minimal dan tingkat risiko yang dapat ditoleransi, demi mendukung keberlanjutan fiskal.

RAPBN 2026 memproyeksikan defisit sebesar Rp 638,8 triliun atau 2,48% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit ini terjadi karena belanja negara direncanakan mencapai Rp 3.786,5 triliun, melebihi pendapatan negara yang ditargetkan sebesar Rp 3.147,7 triliun.

Scroll to Top