Lalat Buah Diubah Jadi Mikrorobot: Terobosan Teknologi yang Kontroversial

Ilmuwan berhasil menciptakan sesuatu yang tak terbayangkan: mengubah lalat buah menjadi mikrorobot yang bisa dikendalikan. Penemuan inovatif dari Rowland Institute, Harvard ini membuka babak baru dalam dunia robotika.

Alih-alih merancang robot dari nol, peneliti memanfaatkan "perangkat keras" alami yang sudah ada pada lalat buah. Dengan otot, metabolisme, sensor, dan sistem navigasi yang dimilikinya, lalat buah menjadi kandidat ideal.

Teknik proyeksi visual digunakan untuk mengarahkan lalat. Dengan menampilkan pola kincir angin berwarna biru-hitam, lalat dapat digiring berbelok ke kiri atau kanan dengan tingkat akurasi yang mengesankan, mencapai 94 persen. Lebih jauh lagi, kawanan lalat ini bahkan mampu "menulis" kalimat "HELLO WORLD" di lantai laboratorium.

Selain itu, peneliti menerapkan optogenetika, memasukkan saluran peka cahaya ke dalam antena lalat. Kilatan cahaya merah atau biru, yang meniru aroma tertentu, digunakan untuk memandu serangga menuju target dengan ketepatan hingga 95 persen.

Pendekatan ini membuktikan bagaimana biologi dapat memberikan solusi untuk tantangan teknis yang sering menghambat perkembangan mikrorobotik. Untuk menjaga kendali arah tetap presisi, satu antena lalat diberi penghalang cahaya biru, sementara antena lainnya diberi penghalang merah, menciptakan sistem kendali sederhana.

Karena lalat menghasilkan energi dan menggerakkan dirinya sendiri, kebutuhan akan perangkat eksternal berkurang drastis. Hanya proyektor, kamera, dan komputer kecil yang diperlukan. Dalam pengujian, lalat yang dikendalikan cahaya bergerak empat kali lebih cepat daripada kelompok kontrol.

Eksperimen diperluas dengan meminta kawanan lalat menulis "HELLO WORLD" melalui 31 titik koordinat. Dalam waktu kurang dari 17 menit, tulisan tersebut terbentuk dengan jelas, menunjukkan kemampuan sistem untuk menangani perintah kompleks secara berurutan maupun paralel.

Lantas, apa potensi dan risiko etis dari teknologi ini? Eksperimen menunjukkan kemampuan lalat untuk membawa beban kecil, menavigasi labirin, dan bertahan dalam berbagai kondisi tanpa kehilangan arah. Ini membuka peluang untuk menggunakan serangga sebagai "biobot" murah untuk mendeteksi kebocoran gas, memetakan reruntuhan, atau membantu penyerbukan tanaman dengan jejak karbon minimal.

Namun, tantangan tetap ada. Perangkat kendali harus diperkecil, dan intervensi buatan tidak boleh mengganggu perilaku alami lalat. Pertanyaan etis juga muncul tentang batas kendali manusia terhadap makhluk hidup demi kepentingan teknologi.

Peneliti Harvard berpendapat bahwa mereka hanya memperkuat refleks alami lalat, bukan menulis ulang perilaku mereka. Dengan biaya pemeliharaan yang rendah dan pelatihan yang singkat, ribuan lalat dapat dikerahkan secara massal di masa depan.

Selain membantu misi pencarian atau penelitian lingkungan, eksperimen ini membuka wawasan baru dalam ilmu saraf, membantu memahami bagaimana otak mengambil keputusan secara real-time.

Scroll to Top