Gelombang kritik menerpa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan yang diterima setiap anggota. Kebijakan ini dianggap tidak sensitif terhadap kondisi ekonomi masyarakat yang sedang sulit.
Tunjangan ini menjadikan penghasilan resmi anggota DPR melebihi Rp100 juta setiap bulan. Para pengamat menilai angka ini "tidak layak" dan "tidak sepadan" dengan kinerja legislatif yang belum memuaskan.
"Warga kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, pajak dinaikkan. Keputusan soal tunjangan perumahan ini tidak pantas," tegas seorang pengamat.
Besaran penghasilan ini terungkap saat seorang anggota DPR menyinggung sulitnya mencari penghasilan halal di parlemen. Ia kemudian membeberkan rincian gaji pokok, tunjangan rumah, dan tunjangan lain yang ia terima.
Kebijakan tunjangan rumah ini sendiri merupakan pengganti fasilitas rumah dinas. Sekretaris Jenderal DPR menjelaskan bahwa tunjangan ini bertujuan agar anggota DPR memiliki tempat tinggal yang dekat dengan gedung parlemen.
Namun, alasan ini dinilai tidak relevan karena kehadiran anggota DPR seringkali tidak maksimal, yang berimbas pada pembahasan legislasi yang kerap tertunda.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menghitung pemborosan anggaran akibat tunjangan rumah ini mencapai Rp1,74 triliun selama masa jabatan anggota DPR. Padahal, pemerintah saat ini tengah menggalakkan efisiensi anggaran.
Mengapa Tunjangan Rumah DPR Dipertanyakan?
DPR dinilai kurang mempertimbangkan aspek etika publik dalam mengambil kebijakan ini. Pengeluaran anggaran sebesar itu dipertanyakan kepantasannya di tengah persoalan ekonomi yang dihadapi masyarakat, seperti kenaikan harga kebutuhan pokok dan peningkatan angka pemutusan hubungan kerja (PHK).
Data menunjukkan harga beras premium dan medium terus merangkak naik. Selain itu, puluhan ribu pekerja mengalami PHK dalam beberapa bulan terakhir.
Kalangan masyarakat sipil mendesak agar kebijakan tunjangan rumah ini dibatalkan karena dianggap tidak patut di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit.
Sebelum adanya tunjangan perumahan ini, tunjangan yang diterima anggota DPR sudah tergolong besar. Tunjangan-tunjangan seperti tunjangan istri/suami, anak, sidang/paket, jabatan, beras, PPh Pasal 21, kehormatan, komunikasi, pengawasan dan anggaran, bantuan listrik dan telepon, serta asisten anggota, jika dijumlahkan dengan gaji pokok, seorang anggota DPR dapat membawa pulang lebih dari Rp50 juta per bulan. Angka ini belum termasuk uang perjalanan dinas dan dana aspirasi.
Di sisi lain, banyak instansi pemerintah yang mengalami pemangkasan anggaran. Kondisi ini berdampak pada kualitas pelayanan publik yang diterima masyarakat.
Kinerja DPR Tidak Memuaskan
Tunjangan yang besar ini tidak sebanding dengan kinerja para anggota dewan. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai tunjangan ini sebagai bentuk subsidi yang berbanding terbalik dengan kinerja DPR.
DPR mengklaim telah menindaklanjuti ribuan laporan masyarakat dan merampungkan pembahasan sejumlah rancangan undang-undang (RUU). Namun, sejumlah RUU menuai kontroversi karena kurang melibatkan partisipasi publik. Bahkan, pembahasan beberapa undang-undang dilakukan secara tertutup di hotel mewah.
Jenis tunjangan yang diterima anggota DPR dinilai terlalu banyak dan tidak masuk akal. Kehadiran anggota DPR yang tidak maksimal juga menjadi sorotan.
Persoalan kinerja DPR tercermin dari tingkat kepercayaan publik yang rendah. Survei menunjukkan tingkat kepercayaan terhadap DPR berada di urutan bawah dibandingkan lembaga lainnya.
Mengapa Tidak Memanfaatkan Rumah Dinas?
Kondisi rumah dinas yang rusak dan membutuhkan renovasi menjadi alasan pemberian tunjangan rumah. Namun, temuan ICW menunjukkan adanya anggaran untuk pemeliharaan rumah dinas, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai perencanaan yang kurang matang.
Pihak Sekretariat Jenderal DPR menyatakan bahwa rumah dinas tersebut sedang dalam proses serah terima ke Kementerian Keuangan.
Tanggapan Anggota DPR
Sejumlah anggota DPR berdalih bahwa tunjangan rumah diperlukan karena tidak adanya rumah dinas yang layak dan banyaknya anggota yang berasal dari luar Jakarta. Namun, mereka enggan berkomentar mengenai besaran tunjangan yang mencapai Rp50 juta per bulan dan menyerahkan persoalan ini kepada pimpinan.