Jakarta – Kurs rupiah mengalami tekanan hebat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, Selasa (19 Agustus 2025), dan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di kawasan Asia. Pada pukul 09.36 WIB, nilai tukar rupiah merosot tajam 0,56% ke level Rp16.245 per dolar AS.
Pelemahan ini terjadi menjelang pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang berlangsung hari ini hingga esok, serta dipicu oleh ketidakpastian global terkait kebijakan suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed).
Di sisi lain, yen Jepang justru menjadi satu-satunya mata uang utama Asia yang menguat tipis sebesar 0,07% ke level JPY 147,76 per dolar AS.
Sebagian besar mata uang Asia lainnya ikut tertekan. Won Korea melemah 0,06% menjadi KRW 1.389 per dolar AS, diikuti oleh yuan China yang terkoreksi tipis 0,02% ke CNY 7,186 per dolar AS, dan dolar Taiwan yang melemah 0,12% menjadi TWD 30,067 per dolar AS.
Mata uang negara-negara Asia Tenggara juga tak luput dari tekanan. Dong Vietnam turun 0,06%, rupee India melemah 0,07%, baht Thailand turun 0,03%, dan ringgit Malaysia melemah 0,09%. Hanya dolar Singapura yang relatif stabil di level SGD 1,284 per dolar AS.
Indeks dolar AS (DXY) terpantau menguat tipis 0,05% ke level 98,21 pada pukul 09.48 WIB, setelah sebelumnya ditutup naik 0,32% di posisi 98,16 pada hari Senin.
Penguatan dolar AS ini sejalan dengan sikap pasar yang berhati-hati menjelang sejumlah agenda penting pekan ini. Salah satunya adalah publikasi risalah rapat Federal Open Market Committee (FOMC Minutes) pada Kamis (21 Agustus 2025) dini hari waktu Indonesia. Dokumen ini akan memberikan rincian pandangan para anggota The Fed dalam rapat 31 Juli lalu, serta memberikan gambaran yang lebih jelas tentang arah kebijakan moneter di masa depan.
Selain itu, perhatian pasar global juga akan tertuju pada Jackson Hole Economic Symposium yang akan diselenggarakan di Wyoming, AS, pada Jumat (22 Agustus 2025). Acara tahunan ini seringkali menjadi panggung penting bagi bank sentral AS untuk memberikan sinyal kebijakan moneter yang dapat mengguncang pasar secara signifikan.
Simposium ini kerap kali dikaitkan dengan potensi perubahan arah pasar secara drastis. Contohnya pada tahun 2022, pidato Jerome Powell (Ketua The Fed) saat simposium tersebut membuat pasar keuangan global bergejolak karena lebih hawkish dari yang diperkirakan.