Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendorong penerapan prinsip Governance, Risk Manajemen, dan Compliance (GRC) di Indonesia. Ekosistem GRC yang kuat dianggap krusial dalam menghadapi berbagai tantangan tata kelola di masa depan.
Menurut Ketua Dewan Audit OJK, Sophia Wattimena, GRC bukan sekadar formalitas administratif, melainkan sebuah kebutuhan mendesak. Hal ini didasarkan pada data Indeks Persepsi Korupsi (CPI) yang menunjukkan bahwa Indonesia masih menempati peringkat 99 dari 180 negara.
"Indonesia memiliki tantangan tersendiri dalam hal tata kelola. Indeks Persepsi Korupsi kita di tahun 2024 berada di angka 37, yang menempatkan kita di posisi 99 dari 180 negara," ujarnya dalam acara Risk & Governance Summit 2025.
Sophia juga menyoroti skor Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang berada di angka 6,33. Angka ini mengindikasikan perlunya optimalisasi iklim investasi di Indonesia. Selain itu, skor B-Ready Index 2024 Indonesia masih di bawah rata-rata global, yang menunjukkan adanya hambatan struktural dalam iklim usaha.
Melalui RGS 2025, OJK berupaya mendorong penguatan prinsip GRC di seluruh sektor. Penerapan GRC diharapkan tidak hanya meningkatkan tata kelola, tetapi juga meningkatkan kualitas layanan publik, baik di bidang keuangan maupun regulasi bisnis.
Sophia menambahkan, berdasarkan Global Risk Report 2025 dari World Economic Forum, Indonesia akan menghadapi sejumlah tantangan global, seperti disinformasi, keamanan siber yang rentan, cuaca ekstrem, dan ketidakpastian geopolitik.
"Mempertimbangkan berbagai risiko global dan kondisi yang kita hadapi, OJK berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya tata kelola untuk mengawal pembangunan. Secara konsisten, OJK menyelenggarakan Risk and Governance Summit sebagai wadah untuk membahas isu-isu ini," pungkasnya.