Teheran dilaporkan tengah giat membenahi kekuatan militernya, mengantisipasi kemungkinan konfrontasi lanjutan dengan Israel. Penasihat Pemimpin Tertinggi Iran, Yahya Rahim Safavi, menegaskan bahwa Iran dan Israel saat ini berada dalam kondisi berperang, bukan gencatan senjata.
"Kita tidak dalam gencatan senjata, melainkan dalam posisi perang," kata Safavi, menandakan tidak adanya perjanjian atau protokol formal yang mengikat kedua negara, maupun dengan Amerika Serikat. Ia bahkan memprediksi akan terjadi peperangan lagi, yang berpotensi menjadi yang terakhir.
Kerusakan signifikan yang dialami infrastruktur militer dan nuklir Iran pasca-perang 12 hari lalu menjadi pemicu utama upaya pemulihan ini. Safavi menekankan pentingnya mengembalikan kemampuan militer Iran untuk menghadapi ancaman.
"Amerika dan Zionis berpendapat bahwa perdamaian dicapai melalui kekuatan. Oleh karena itu, Iran juga harus kuat, karena dalam hukum alam, yang lemah akan tertindas," ujarnya. Safavi menyerukan penguatan diplomasi, media, kemampuan rudal, drone, dan strategi serangan siber. Pihak militer pun aktif menyusun skenario terburuk dan menyiapkan rencana kontingensi.
Sementara itu, Wakil Presiden Mohammad Reza Aref menyatakan bahwa Iran tidak menginginkan perang, tetapi jika diserang, Iran akan menentukan bagaimana dan kapan perang itu akan berakhir. Aref menegaskan bahwa Iran berada dalam kondisi pasca-perang, bukan gencatan senjata, melainkan penghentian sementara aksi militer. Karena itu, kesiapan menghadapi konfrontasi harus terus ditingkatkan.
"Strategi kami adalah menyelesaikan masalah melalui negosiasi, tetapi kami meragukan kesungguhan pihak lawan dalam bernegosiasi," ungkap Aref. Ia menuding kekuatan Barat berusaha mendikte kebijakan terhadap negara lain, namun Iran menolak tunduk.
"Inilah wujud hak asasi manusia dan peradaban Barat," kata Aref, sembari menegaskan, "Kami tidak mencari perang, tetapi jika mereka memulai, akhir (kemenangan) perang akan menjadi milik kita."