Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memberikan peringatan keras kepada Perum Bulog terkait lambatnya penyaluran beras program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Keterlambatan ini dikhawatirkan dapat memicu kerugian negara.
Sekretaris Jenderal Kemendagri, Tomsi Tohir, menyoroti bahwa rendahnya realisasi penyaluran beras SPHP Bulog berdampak pada tren kenaikan harga beras di pasaran. Dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah yang digelar hari Selasa, 19 Agustus 2025, Tomsi menekankan urgensi percepatan penyaluran.
"Beras yang tidak disalurkan atau lambat disalurkan berdampak pada tren kenaikan harga," ujarnya.
Lebih lanjut, Tomsi menjelaskan bahwa beras merupakan komoditas yang rentan terhadap penurunan kualitas. Jika stok beras terlalu lama menumpuk di gudang, kualitasnya dapat menurun hingga rusak dan tidak layak konsumsi. Hal ini tentu akan menimbulkan kerugian finansial bagi negara.
Program beras SPHP sendiri bertujuan untuk mendistribusikan 1,3 juta ton beras dari Juli hingga Desember 2025. Idealnya, Bulog harus menyalurkan sekitar 216.000 ton beras per bulan atau sekitar 7.100 ton per hari.
Namun, data terbaru menunjukkan realisasi penyaluran masih jauh dari target. Hingga pertengahan Agustus, baru sekitar 38.111 ton beras SPHP yang telah didistribusikan, atau hanya sekitar 2,94% dari target. Provinsi Jawa Timur mencatat penyaluran tertinggi.
"Realisasi penyaluran SPHP baru 2,94% dari target 16,5% per bulan," ungkap Tomsi.
Saat ini, penyaluran harian Bulog hanya sekitar 1.200 ton, jauh di bawah target harian sebesar 7.100 ton. Dengan kata lain, lebih dari 80% stok beras SPHP masih menumpuk di gudang.
Kondisi ini, menurut Tomsi, dapat memperburuk kualitas beras, memicu munculnya apek, jamur, bahkan serangan hama. Selain itu, biaya penyimpanan juga akan meningkat.
"Beras yang tidak tersalur ini makin lama kualitasnya menurun, pemeliharaannya juga mahal, dan bisa saja beras yang didapat dari tahun yang lalu terpaksa harus dihancurkan karena ketidaklayakan," pungkasnya.