Polemik Royalti Karaoke: Ahmad Dhani Kritik Kenaikan Tarif dan Transparansi LMK

Kenaikan tarif royalti yang signifikan untuk usaha karaoke memicu sorotan tajam dari musisi Ahmad Dhani. Melalui media sosial, pentolan Dewa 19 ini mengungkapkan bahwa para komposer tidak pernah diajak berdiskusi terkait kebijakan tersebut. Ia bahkan menyebut ada indikasi "LABEL RAKUS" di balik kebijakan ini.

Kabar kenaikan royalti yang mencapai Rp 15 juta per ruangan karaoke ini sontak membuat para pengusaha menjerit. Beberapa musisi lain pun turut memberikan tanggapan. Sandhy Sondoro memberikan dukungan dengan komentar singkat, "GAAAASSS mas," sementara Ari Lasso berkelakar bahwa biaya royalti kini lebih mahal dari "LC-nya."

Ahmad Dhani menekankan bahwa dirinya fokus pada perjuangan royalti pertunjukan (performing rights) yang menjadi hak pencipta lagu dan musisi. Ia menolak jika beban royalti justru membebani pelaku usaha seperti kafe, restoran, dan karaoke.

Kenaikan tarif royalti yang mencapai tiga kali lipat ini memicu protes dari berbagai pihak, termasuk pengusaha karaoke di Bandungan, Semarang. Mereka mengeluhkan aturan yang memberatkan dan tidak jelas alur penggunaannya. Bahkan, beberapa pengusaha mengaku telah menerima somasi dari Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Wahana Musik Indonesia (WAMI).

Pernyataan Ahmad Dhani ini muncul di tengah kritikan terhadap LMK dan tata kelola royalti di Indonesia. Ari Lasso sebelumnya mengungkapkan kebingungannya terkait besaran royalti yang diterimanya dan transfer ke rekening orang lain. Ia mempertanyakan mengapa royalti yang mencapai puluhan juta rupiah hanya menghasilkan ratusan ribu rupiah di tangan musisi.

Banyak pihak menilai, akar masalah terletak pada mekanisme distribusi yang masih mengandalkan laporan manual, sehingga data yang terkumpul seringkali tidak akurat.

Ahmad Dhani menyarankan solusi mendasar berupa penerapan sistem digital terintegrasi. Dengan sistem ini, data pemutaran lagu dan penggunaan musik dapat terekam secara real time dan otomatis, sehingga pembagian royalti dapat dilakukan secara transparan dan adil.

Perdebatan mengenai tata kelola royalti terus berlanjut. Dorongan untuk memperbaiki sistem berbasis teknologi semakin menguat, seiring dengan digitalisasi yang telah menjadi standar di industri musik global.

Scroll to Top