Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) membayangi para pekerja di sektor industri keramik. Kebijakan pemerintah terkait pembatasan penggunaan gas harian dengan harga terjangkau (HGBT) menjadi penyebab utama kekhawatiran ini.
Mulai 13 Agustus hingga 31 Agustus 2025, industri hanya diperbolehkan menggunakan 48% dari volume gas HGBT yang dialokasikan. Kekurangan 52% harus dipenuhi dengan harga surcharge yang melonjak 120% dari harga awal US$14,8 per MMBTU, menjadi sekitar US$17,8 per MMBTU.
Pembatasan ini memukul telak industri keramik, meningkatkan biaya produksi secara signifikan. Beberapa perusahaan bahkan telah merumahkan ratusan karyawan. Contohnya, dua pabrik tableware di Tangerang terpaksa memberhentikan sekitar 700 pekerja akibat beban biaya gas yang membengkak.
Asosiasi Aneka Industri Keramik (Asaki) menyayangkan gangguan pasokan gas yang berkepanjangan tanpa solusi. Mereka khawatir semakin banyak industri yang akan merumahkan karyawan, bahkan berpotensi melakukan PHK massal jika kondisi ini terus berlanjut.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menekankan pentingnya gas bumi sebagai bahan baku dan sumber energi bagi industri seperti pupuk, kaca, keramik, baja, oleokimia, hingga sarung tangan karet. Program HGBT dengan harga sekitar USD 6,5 per MMBTU selama ini memberikan manfaat besar bagi sektor-sektor ini.
Kemenperin mempertanyakan anomali pasokan gas, di mana pasokan gas dengan harga di atas US$15-US$17 per MMBTU lancar, namun pasokan gas dengan harga US$6,5 justru tersendat. Kondisi ini memaksa penghentian mesin produksi, yang membutuhkan waktu, energi, dan biaya besar untuk diaktifkan kembali.
Pembatasan HGBT tidak hanya mengancam kelangsungan produksi, tetapi juga berpotensi menurunkan utilisasi pabrik, bahkan berujung pada penutupan usaha dan PHK pekerja. Lebih dari 100 ribu pekerja di sektor penerima manfaat HGBT terancam kehilangan pekerjaan jika industri terpaksa mengurangi kapasitas atau menutup pabrik.