Jakarta – Gitaris band Padi yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), Piyu, menyoroti sistem extended collective licence (ECL) dalam mekanisme penarikan royalti lagu. Menurutnya, sistem ini menimbulkan ketidakadilan bagi para musisi dan pencipta lagu.
Dalam rapat konsultasi di DPR yang melibatkan pemerintah, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), VISI, AKSI, dan WAMI, Piyu menyampaikan bahwa sistem ECL memungkinkan LMKN untuk tetap menarik royalti meskipun seorang musisi telah memberikan izin penggunaan lagunya secara bebas.
"Contohnya, meskipun Ari Lasso telah mencabut haknya atas sebuah lagu, WAMI tetap memungut royalti. Ini sangat tidak adil. Ketika seorang pencipta lagu menarik kuasanya, mengapa royalti masih dipungut?" tegas Piyu.
Ia juga mempertanyakan ke mana hasil pungutan royalti tersebut akan dialokasikan jika pencipta lagu sudah tidak lagi berhak menerimanya.
Selain itu, Piyu mengkritik praktik pembayaran royalti yang baru dilakukan setelah pertunjukan selesai. Ia berpendapat, idealnya, royalti dilunasi sebelum pertunjukan dimulai.
"Mengapa lisensi tidak bisa diberikan sebelum naik panggung? Pelaku pertunjukan atau penyanyi seharusnya ikut bertanggung jawab memastikan bahwa hak pencipta lagu telah dipenuhi sebelum mereka tampil," jelasnya.
Dengan pelunasan royalti di awal, Piyu meyakini bahwa pencipta lagu dapat memperoleh haknya secara bersamaan dengan para pengguna atau penyanyi. Hal ini juga dapat mencegah terjadinya tunggakan royalti yang seringkali berujung pada kesalahan penyelenggara acara atau EO.
Sebagai informasi tambahan, DPR bersama pemerintah dan musisi menargetkan revisi Undang-Undang Hak Cipta dapat diselesaikan dalam waktu dua bulan untuk mengatasi polemik royalti lagu.