Surabaya – Norovirus, biang keladi diare, muncul sebagai tantangan kesehatan baru di Indonesia, terutama bagi anak-anak, khususnya mereka yang kekurangan gizi. Tidak seperti Rotavirus yang sudah memiliki vaksin, Norovirus belum ada penawarnya, sehingga pengendaliannya lebih sulit.
Peneliti dari Universitas Airlangga (Unair) mengungkapkan bahwa prevalensi Norovirus cukup tinggi, bahkan di negara yang cakupan vaksinasi Rotavirusnya sudah baik. Studi menunjukkan bahwa infeksi Norovirus, baik yang menimbulkan gejala maupun tidak, dapat meningkatkan risiko gangguan penyerapan nutrisi akibat peradangan di usus.
Anak-anak dengan kondisi gizi buruk memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, membuat mereka lebih rentan terhadap infeksi Norovirus. "Norovirus sangat cepat bereplikasi dan menyebar karena termasuk virus RNA," jelas peneliti tersebut.
Lalu, apa perbedaan diare akibat virus dan bakteri? Diare yang disebabkan oleh Norovirus biasanya ditandai dengan feses cair dengan sedikit ampas, sedangkan diare akibat infeksi bakteri seringkali disertai lendir, bahkan darah. Diare akibat virus dapat menyebabkan dehidrasi parah dan berpotensi mengancam jiwa, sehingga memerlukan penanganan cepat.
"Diare akibat infeksi virus dapat menyebabkan pasien mengalami dehidrasi karena kehilangan cairan melalui feses dan berisiko kematian," tegasnya.
Untuk mencegah penyebaran Norovirus, penting untuk menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Kebersihan lingkungan dan hewan peliharaan, terutama kucing dan anjing, harus diperhatikan karena Norovirus dapat menular melalui kotoran hewan.
Edukasi kepada orang tua dan pengasuh anak tentang pencegahan infeksi Norovirus juga sangat krusial. "Penting untuk memberikan edukasi kepada ibu dan pengasuh tentang bahaya dan langkah-langkah pencegahan infeksi virus ini," imbuhnya.
Unair terus berkomitmen untuk mempelajari Norovirus dan mengembangkan strategi pengendalian yang efektif untuk mencegah wabah dan menekan penyebarannya.
