Gelombang serangan udara dahsyat dari Rusia kembali menghantam Ukraina pada Kamis (21/8/2025). Serangan masif ini, yang terbesar sejak pertengahan Juli, melibatkan ratusan drone dan puluhan rudal yang menghujani berbagai wilayah di Ukraina, mengakibatkan satu korban jiwa dan belasan luka-luka.
Perdana Menteri Ukraina, Yulia Svyrydenko, dengan tegas menyatakan bahwa serangan ini menjadi bukti ketidakseriusan Rusia dalam mewujudkan perdamaian, meskipun upaya diplomasi yang diprakarsai Amerika Serikat telah berlangsung intensif dalam beberapa hari terakhir.
"Rusia terus menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki niat untuk mencapai perdamaian," ungkapnya melalui media sosial.
Svyrydenko menjelaskan bahwa serangan yang dilancarkan menggunakan kombinasi beragam persenjataan, termasuk drone, rudal jelajah, rudal balistik, dan bahkan senjata hipersonik. "Semalam, Ukraina menjadi target serangan gabungan berskala besar," imbuhnya.
Angkatan Udara Ukraina melaporkan bahwa Rusia menembakkan 574 drone dan 40 rudal. Sistem pertahanan udara Ukraina berhasil mencegat dan menghancurkan 546 drone serta 31 rudal.
Meskipun demikian, beberapa wilayah mengalami kerusakan signifikan dan jatuhnya korban jiwa. Di Kota Lviv, wilayah barat Ukraina, seorang warga sipil tewas dan dua lainnya terluka akibat serangan drone dan rudal jelajah.
"Puluhan bangunan tempat tinggal mengalami kerusakan," kata Maksym Kozytskyi, Kepala Administrasi Militer Lviv.
Di Kota Mukachevo, yang terletak dekat perbatasan dengan Hungaria dan Slovakia, serangan Rusia menyebabkan 12 orang terluka. "Lima pasien dirawat di rumah sakit kota, sementara satu orang dipindahkan ke rumah sakit regional," demikian pernyataan resmi dari dewan kota.
Wilayah barat Ukraina relatif jarang menjadi sasaran serangan Rusia dibandingkan wilayah selatan dan timur, yang sebagian besar telah dikuasai oleh pasukan Moskow sejak invasi pada tahun 2022. Oleh karena itu, serangan kali ini dianggap tidak memiliki justifikasi militer yang jelas.
Menteri Luar Negeri Ukraina, Andriy Sybiga, mengecam aksi tersebut sebagai tindakan teror murni terhadap warga sipil. "Tidak ada logika atau kebutuhan militer dari serangan ini. Ini hanyalah teror terhadap rakyat," tegasnya.
Sementara itu, Kementerian Pertahanan Rusia mengklaim berhasil menghancurkan 49 unit pesawat nirawak tipe militer Ukraina di sejumlah wilayah. Namun, Moskow tidak memberikan informasi mengenai adanya korban atau kerusakan akibat serangan balasan dari Ukraina.
Serangan lintas batas ini terjadi di tengah gencar-gencarnya inisiatif diplomasi yang dipimpin oleh Presiden AS Donald Trump pada bulan ini. Trump sebelumnya telah bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Alaska, dan kemudian melanjutkan pembicaraan terpisah dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan sejumlah pemimpin Eropa di Washington.